JURNAL SOREANG - Pemilahan sampah dari rumah, merupakan kunci dari pengelolaan sampah. Karena dengan memilah sampah dari rumah, dapat mengoptimalkan nilai manfaat dari sampah.
Jika demikian, sampah pun tidak perlu lagi dibuang ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA).
Rukuh Setiadi, dosen senior di Departemen Perencanaan Wilayah dan Kota, Universitas Diponegoro (UNDIP).
Baca Juga: Bikin Hari! Pejalan Kaki Tewas Tertabrak Kereta Api di Ciroyom, Kota Bandung
“Untuk mengatasi penumpukan sampah di TPA yang sudah kelebihan kapasitas, maka sampah harusnya dipilah dulu mulai dari rumah," katanya.
Rukuh pun mengungkap 3 sebab, mengapa pemilahan sampah di Indonesia begitu rendah.
Masyarakat Skeptis
Rukuh berkata, “Di Indonesia, masyarakat skeptis dengan kegiatan pemilahan sampah”. Alasannya adalah karena sampah yang sudah dipisahkan, ujung-ujungnya akan dicampur kembali. Semisal ketika sudah diangkut oleh truk, maupun gerobak sampah.
Jika kita menengok di lapangan, kenyataannya memang demikian. Tempat-tempat sampah terpilah pun tidak benar-benar digunakan dengan baik.
Baca Juga: 10 SMK Negeri Terbaik di Karawang Berdasarkan Nilai Ujian Nasional 2019 untuk Referensi PPDB 2023
Reporter Jurnal Soreang sempat melakukan wawancara kepada warga yang sudah memilah sampah dari rumah selama 3 tahun.
Salah satunya ibu rumah tangga yang dikenal sebagai Ambu, ia berkata “kalau misalnya yang dulu (penyedia layanan konvensional), ini sampah kering, sampah basah, tetep aja disatuin.”
Karenanya, Ambu mulai memilah sampah dari rumah, ketika menemukan penyedia layanan pengelolaan sampah terpilah.
Sarana dan Prasarana yang Terbatas
Menurut Rukuh, fasilitas yang kurang memadai di TPS-3R (Tempat Pengolahan Sampah Reduce-Reuse-Recycle) dan bank sampah juga menjadi penyebab rendahnya tingkat pemilahan sampah di Indonesia.
Ia mencontohkan yang terjadi di Semarang, Jawa Tengah. Baginya, Pemerintah Kota Semarang terlihat kewalahan dalam memenuhi bantuan sarana dan prasarana yang dibutuhkan oleh bank sampah.
Misalnya, penyediaan gudang, mesin pencacah, armada angkut, maupun pendampingan tentang pengelolaan fasilitas TPS-3R.
Hal yang sama pernah Reporter Jurnal Soreang temukan juga di Jember, bahwa sopir-sopir truk rela patungan untuk memenuhi kebutuhan bahan bakar armada pengangkut sampah.
Karena anggaran yang disalurkan dari Pemerintah Kabupaten tidak cukup memenuhi kebutuhan tersebut.
Sisi lain, kami temukan di Jatinangor, terdapat mesin pencacah yang dimiliki oleh desa tidak dapat digunakan. Penyebabnya adalah sampah yang diangkut oleh petugas, tidak sesuai kriteria sampah yang dapat dimasukkan ke dalam mesin, karena tercampur.
Pengelolaan Tidak Ditangani oleh Profesional
Dosen UNDIP ini berkata, “Pengelolaan sampah di daerah berjalan tidak maksimal karena tidak ditangani oleh orang yang profesional dan ahli di bidang persampahan.”
Ia mengungkap, dari 28 lokasi TPS-3R di Semarang, hanya ada empat yang dikelola secara profesional dan beroperasi dengan baik.
Menurut Rukuh, bank sampah biasanya dioperasikan secara sukarela oleh individu yang berada di sekitar lokasi bank sampah. Semisal oleh ibu rumah tangga.
Tidak jarang, bank sampah berhenti beroperasi, dikarenakan pengelola merasa apa yang dilakukannya untuk bank sampah, tidak sepadan dengan manfaat ekonomi yang ia dapatkan.
Hal tersebut buntut dari bank sampah yang tidak bisa menutup biaya operasional, serta biaya lainnya. Karena bank sampah bergantung pada peran aktif nasabah.***