Bagi para pemimpin gerakan pembebasan nasional Indonesia seperti Sukarno, Penyerahan Jepang merupakan kesempatan emas untuk mendirikan negara baru yang merdeka, bebas dari pendudukan bangsa manapun, termasuk Belanda.
Padahal Pemerintah Belanda berharap dapat memulihkan kekuasaannya seperti sebelum Jepang menduduki Hindia Belanda pada Maret 1942.
Kita semua tahu bahwa pada akhirnya, itu adalah upaya naif, sia-sia untuk menjajah Indonesia lagi.
Dimulai dari proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, hingga penyerahan kedaulatan pada 27 Desember 1949.
Pada akhirnya, Belanda meninggalkan Indonesia dengan beban sejarah dan Sukarno menjadi kambing hitam dalam hal itu.
Oleh karena itu, kegagalan pemerintah Belanda untuk menjajah kembali Hindia Belanda kembali menjadi jajahan Belanda akan selalu ada jawabannya.
Namun dalam kaitan itu muncul kesan bahwa penyangkalan Sukarno itu melambangkan bahwa sebagian orang Belanda tidak bisa beranjak dari imajinasi masa lalunya. Dan itu
sangat disayangkan.
Sedangkan di Indonesia, imajinasi tentang musuh selalu mengacu pada mereka yang berkulit putih, seperti Multatuli.
Hal ini disebabkan oleh bias rasisme dalam sejarah kolonialisme dan saat ini kita dapat melihat dampaknya pada situasi di mana sentimen anti asing (xenophobia) telah menjadi sarana yang sangat populer untuk memobilisasi gerakan publik massa dalam perjuangan politik baik di tingkat regional maupun nasional di Indonesia.