“Sains dan teknologi modern tidak cukup untuk menjawab berbagai masalah itu. Justru sebagian masalahnya timbul karena sains dan teknologi modern digunakan secara tidak bijak,” ujar Hilmar.
Ia pun menambahkan, “Kita memiliki khazanah pengetahuan lokal yang berpijak pada kelestarian dan keberlanjutan, yang jika dikombinasi dengan sains dan teknologi bisa memberikan solusi yang konkret.”
Wakil Direktur Jenderal UNESCO, Xing Qu, hadir memberikan sambutan dalam kegiatan itu.
Percakapan transdisipliner seperti ini sudah difasilitasi UNESCO dalam program Local and Indigenous Knowledge Systems (LINKS). Xing Qu menyambut baik inisiatif dari Indonesia untuk meneruskan percakapan itu dengan berbagai pemangku kepentingan lokal.
Hadir pula dalam diskusi itu Pengelola Pura Ulun Danau Batur dan juga pengajar di Universitas Udayana, I Ketut Eriadi Ariana. Ia menjelaskan sejarah dan perkembangan sistem subak di Bali yang merupakan sistem pengelolaan air yang sangat penting bagi orang Bali.
Di jantung sistem itu adalah filosofi Tri Hita Karana, yakni harmoni antara unsur parahyangan (Tuhan), pawongan (manusia), dan palemahan (lingkungan).
Indonesia berada pada jalur rempah dunia, yakni jalur pelayaran tradisional yang membentang antara kawasan Pasifik di sebelah timur sampai pantai timur Afrika di sebelah barat.