Mulai dari ruang belajar yang harus menumpang di ruangan SD hingga murid yang harus dijemput ke sekolah karena rendahnya motivasi untuk belajar.
“Untuk kegiatan belajar mengajar kami menumpang di ruangan SD dan itu berpindah-pindah menunggu ada ruang yang kosong. Bahkan setiap pagi saya bersama satu orang teman saya harus menjemput murid-murid ke rumahnya,” ungkapnya.
Rismawati menceritakan, ketika mengetahui adanya Pendidikan Guru Penggerak (PGP) ia merasa program tersebut cocok dengan semangatnya untuk menggerakkan sekolah menjadi lebih berkembang. Akhirnya, ia mantap untuk mendaftarkan diri dan lolos menjadi Guru Penggerak angkatan ketiga.
Pada kesempatan dialog lainnya, Guru di Sekolah Luar Biasa (SLB) Negeri 1 Kota Makassar, Muhammad Nur, mengungkapkan alasannya menjadi Guru Penggerak agar dapat menjadi bagian dari roda pergerakan pendidikan di Indonesia.
“Saya ingin memberikan pembelajaran yang terbaik untuk peserta didik di SLB, meskipun anak berkebutuhan khusus tapi mereka memiliki potensi yang bisa dikembangkan melalui sentuhan guru-guru hebat,” jelasnya.
Selanjutnya, Nur menambahkan kurikulum dalam Pendidikan Guru Penggerak (PGP), berisi materi yang tersusun sangat rapi dan menyentuh sehingga menggugah cara berpikirnya tentang profesi yang sudah ia geluti hampir 23 tahun itu.