Polemik Food Estate, DPR Minta Pemerintah Jangan Paksakan Lahan Gambut

- 4 Oktober 2020, 11:33 WIB
Salah satu areal persawahan di wilayah Handapherang, Kecamatan Cijeungjing, KAbuoaten Ciamis yang terancam mati akibat kekeringan, Rabu 2 September 2020. Pemerintah berencana membuka sawah baru di areal gambut
Salah satu areal persawahan di wilayah Handapherang, Kecamatan Cijeungjing, KAbuoaten Ciamis yang terancam mati akibat kekeringan, Rabu 2 September 2020. Pemerintah berencana membuka sawah baru di areal gambut /Pikiran-Rakyat.com/Nurhandoko/

 

 

 

 


JURNAL SOREANG- Polemik program Food Estate di bawah Kementerian Pertahanan (Kemenhan), kembali menuai sorotan. Presiden dan jajarannya dinilau memaksakan pencetakan lahan ini di daerah gambut di Kapuas dan Pulang Pisau  untuk foos estate.

" Hal ini membuat khawatir berbagai pihak, mengingat Kalteng terutama Pulang Pisau, sebagai kawasan terbesar berlahan gambut seluas 2.789 kilometer. Lahan ni punya cerita kelam kegagalan mega proyek Pembukaan Lahan Gambut (PLG) satu juta hektare era Orde Baru," papar Slamet dalam pernyataannya, Minggu, 4 Oktober 2020.

 Anggota Komisi IV DPR RI ini menambahkan,  dari analisa Badan Pusat Statistik (BPS) menggunakan kerangka sampel area (KSA) dengan luas panen besar 8,99 juta hektare. Produksi selama Januari-September diperkirakan mencapai 46,9 juta ton gabah kering giling (GKG) atau setara dengan 26,91 juta ton beras.

"Ada pun untuk konsumsi, selama periode tersebut diperkirakan jumlahnya mencapai 22,28 juta ton. Jadi seharusnya, bila dihitung produksi dikurangi konsumsi, Januari sampai September ini surplus sekitar 4,6 juta ton," ujarnya.

Baca Juga: PLN Turunkan Tarif Listrik untuk Tujuh Golongan. Cek ya

 

Slamet mengungkapkan, pengertian ketahanan pangan tidak lepas dari UU Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan.Disebutkan dalam UU tersebut, kata Slamet, ketahanan pangan adalah "kondisi terpenuhinya Pangan bagi negara sampai dengan perseorangan, yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan terjangkau.

"Ketahanan pangan juga  tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan," ujarnya.


Dia meminta  program ini agar tidak membuka lahan baru untuk percetakan sawah. "Lebih baik mengoptimalkan pertanian pangan yang sudah dikelola masyarakat dengan perlindungan dan pengakuan lahan mereka, serta pengembangan infrastruktur sawah yang ada," ujarnya.

Baca Juga: Sepekan Kampanye, Bawaslu Masih Temukan Pelanggaran di Pilkada Kabupaten Bandung


Slamet menuturkan, banyak wilayah jadi lumbung pangan yang hilang karena alih fungsi lahan dan dikelola korporasi.

"Soal pentingnya perlindungan lahan pangan yang dikelola masyarakat. Sebab, hal tersebut akan menjadi langkah tepat dalam kedaulatan pangan maupun ketahanan pangan," katanya.***

Editor: Sarnapi


Tags

Artikel Pilihan

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah