Pencemaran air Sungai Sagea, lanjutnya, mengisyaratkan adanya masalah baik dalam pembuatan maupun pelaksanaan analisis dampak lingkungan (amdal) terhadap perusahaan tambang tersebut.
Ia berharap Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) tidak mengobral Izin Usaha Pertambangan (IUP) guna menjaga lingkungan.
Dalam aksi itu, mereka menuntut dilakukan penyidikan dan penegakan hukum lingkungan oleh instansi berwenang terhadap pihak yang terbukti melakukan pencemaran aliran sungai Sagea dan segera menghentikan aktivitas perusahaan pertambangan tersebut.
Sebagai informasi Boki Maruru adalah destinasi karst di Sagea, Halmahera Tengah, yang juga dilintasi Sungai Sagea. Boki Maruru juga mengandung nilai-nilai kebudayaan yang disakralkan masyarakat setempat sebagai bagian dari peninggalan leluhur.
Sementara itu Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Maluku Utara Fachruddin Tukuboya menyatakan pihaknya telah membentuk tim yang terdiri dari DLH Maluku Utara, DLH Kabupaten Halmahera Tengah, dan Dinas Kehutanan. Tim, lanjutnya, belum menemukan adanya pencemaran berasal dari lima perusahaan tambang yang beroperasi di kabupaten itu.
Menurut dia, limbah milik perusahaan tambang memang tidak dialiri ke Sungai Sagea, Boki Maruru. Kendati demikian pihaknya akan melakukan kajian secara hidrolis melalui ahli yang telah disiapkan.
Bahkan, berdasarkan hasil pemantauan di udara yang dilakukan tim investigasi, belum menemukan pembuangan limbah lima perusahaan tambang itu mengarah hingga ke Sungai Sagea maupun Boki Maruru. ***