Simak! Apa Hubungannya Antara Rokok, Sperma, dan Stunting? BKKBN Beri Jawabannya

- 7 Agustus 2021, 21:08 WIB
Kepala BKKBN dr. Hasto Wardoyo.
Kepala BKKBN dr. Hasto Wardoyo. /Jurnal Soreang /bkkbn.go.id

JURNAL SOREANG - Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), DR (H.C). dr. Hasto Wardoyo, SpOG (K) mengatakan bahwa rokok itu racun.

Dikatakan racun karena selain mempengaruhi kesehatan ibu hamil dan bayi, rokok juga dapat mempengaruhi kualitas dan jumlah sperma yang diproduksi.

"Toxic rokok ini mempengaruhi prenatal dan postnatal. Laki-laki yang program ingin punya anak, berhenti dulu merokok selama 70 hari sebelum konsepsi karena toxic-nya bisa menurunkan kualitas sperma," jelas dr. Hasto, sebagaimana dikutip dari bkkbn.go.id yang diunggah pada Kamis, 29 Juli 2021.

Baca Juga: Angka Kehamilan Naik Selama Pandemi, BKKBN Gencarkan Layanan Kontrasepsi

dr. Hasto kemudian membeberkan hasil sebuah penelitian dalam Journal of Obstetric, Gynecologic & Neonatal Nursing yang diterbitkan pada 2006.

"Asap rokok dapat mengurangi testis, nekrosis testis, berkurangnya diameter tubulus seminiferous dan vasokontrisi pembuluh darah, juga mempengaruhi pengambilan oksigen selama metabolisme," paparnya.

Lebih lanjut dia mengungkapkan, dalam banyak penelitian lain juga dikatakan bahwa selain tubulus seminiferous menurun, jumlah spermatozoa yang dihasilkan juga menjadi lebih sedikit.

Tidak hanya itu, dr. Hasto menyatakan paparan asap rokok juga mempengaruhi tumbuh kembang balita, khususnya resiko tinggi terkena stunting dan resiko kematian mendadak pada bayi.

Baca Juga: BKKBN Vaksinasi Covid-19 Bagi Mitra Transportasi dan Keluarga di 12 Terminal

"Paparan asap rokok meningkatkan resiko stunting pada anak berusia 25-59 bulan sebesar 13.49 kali. Selain itu, paparan asap rokok meningkatkan terjadinya ectopic pregnancy dan sudden infant death syndrome," terang dr. Hasto.

Sementara itu, Prof. Dr. dr. Nila Moeloek, SpM (K) mengatakan, sebanyak 23,21% penduduk Indonesia merokok pada tahun 2020 dan 96 juta jiwa menjadi perokok pasif, termasuk ibu hamil dan anak-anak.

"Indonesia negara ketiga tertinggi di dunia jumlah perokok di atas usia 10 tahun setelah China dan India, bahkan pernah ada anak 2 tahun merokok di Indonesia mencengangkan dunia," tutur Prof. Nila.

Hal ini tentu saja membuat Prof. Nila merasa prihatin, ditambah banyaknya keluarga Indonesia yang lebih mementingkan untuk membeli rokok dibanding menyajikan makanan bernutrisi untuk anaknya.

Baca Juga: Rentan Penyakit! BKKBN Dorong Lansia Mandiri, Produktif dan Aktifnya Dukungan Keluarga

"Permasalahan utama kita adalah anak-anak merokok. Jangan kita racuni anak-anak kita, ini berkaitan sekali dengan stunting dan pendidikan. Banyak keluarga tidak peduli makanan bergizi untuk anaknya karena untuk membeli rokok," ucapnya.

Oleh karena itu, Prof. Nila berharap harga rokok ditingkatkan agar tidak terjangkau oleh anak-anak, guru di sekolah tidak memberi contoh merokok di sekolah, dan tidak adanya iklan rokok di sekolah dan di jalan-jalan.***

Editor: Rustandi

Sumber: bkkbn.go.id


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah