Inilah yang Dibicarakan Saat Leksikograf Tingkat Asia Berkumpul Secara Virtual

19 Juni 2021, 04:30 WIB
Tangkapan layar Pertemuan Leksikograf Tingkat Asia berkumpul virtual /Kemendikbud/

JURNAL SOREANG-Kemendikbudristek melalui Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa (Badan Bahasa) menyelenggarakan Konferensi Internasional ke-14 Asosiasi Leksikografi Tingkat Asia (Asialex 2021).

Konferensi yang mengangkat tema “Leksikografi dan Dokumentasi Bahasa” ini digelar secara virtual pada Sabtu-Senin, 12—14 Juni 2021 lalu untuk memberikan referensi dalam kegiatan pendokumentasian bahasa.

Pertemuan para leksikograf ini menghadirkan empat orang pembicara kunci, yaitu Kepala Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, E. Aminudin Aziz; perwakilan dari SIL International, René van den Berg; perwakilan dari The Chinese University of Hong Kong, Shenzen, Li Lan; dan perwakilan dari Stellenbosch University, Rufus Gouws.

Baca Juga: Tanpa Lampu Penerangan dan Pengeras Suara Seadanya, Bupati Bandung Resmikan Masjid Al Amanah

Sebagai pembicara pertama, Kepala Badan Bahasa, E. Aminudin Aziz, menyampaikan paparan bertema “Reformasi Kebijakan dalam Program Pengayaan Kosakata Bahasa Indonesia”.

Ia mengungkapkan, sebagai salah satu upaya dalam melestarikan bahasa dan sastra daerah, Badan Bahasa berhasil mengidentifikasi 718 bahasa daerah di Indonesia. Upaya tersebut merupakan hasil kerja bersama dengan UPT Badan Bahasa (balai dan kantor bahasa) yang tersebar di 30 provinsi.

Tak hanya berhasil mengidentifikasi bahasa daerah, balai dan kantor bahasa juga turut memperkaya Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dengan mengirimkan kosakata bahasa daerah di wilayahnya.

Baca Juga: Bupati Bandung Segera Bangun 2 Sekolah Tingkat Pertama di Cileunyi

“Setiap tahun, balai dan kantor bahasa menyumbangkan kosakata bahasa daerah untuk menambah jumlah entri di Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Selain itu, masyarakat umum di setiap daerah juga bisa menyumbangkan kosakata bahasa daerahnya melalui KBBI Daring dengan menjadi pengguna terdaftar,” ungkap Aminudin.

Aminuddin menambahkan, KBBI digunakan sebagai kamus umum dan merupakan alat yang merekam sejarah dari waktu ke waktu, mulai dari zaman kuno hingga zaman modern dari segi kebahasaan.

Untuk itu, KBBI diperbarui dua kali dalam setahun, yakni pada bulan April dan Oktober. Selain KBBI versi digital (luring dan daring), Badan Bahasa mempunyai KBBI versi cetak dan KBBI untuk tunanetra.

“Ada lima syarat sebuah kata masuk ke dalam KBBI, yaitu bersifat unik; mudah diterima dan sering digunakan oleh masyarakat, baik dari segi jumlah bahasa maupun dari jumlah pengguna; indah didengar dan mudah diucapkan; dibentuk menurut kaidah morfologi di Indonesia; dan tidak bermakna atau berkonotasi negatif,” ujar Aminudin.

Baca Juga: Cegah Lonjakan Covid-19, Polresta Bandung Gelar Operasi Yustisi Penyekatan, Tiga Orang Ditemukan Reaktif

Selanjutnya, René Van Den Berg, dari SIL International, membawakan materi “Leksikografi dan Dokumentasi Bahasa: Urgensi, Tantangan, dan Kemungkinan”. Dalam paparannya, René menyoroti persoalan bahasa daerah yang terancam punah dalam waktu 40 tahun ke depan. Hal tersebut terjadi karena kurangnya kesadaran masyarakat akan pentingnya melestarikan bahasa daerah.

Rene menggarisbawahi kurangnya kesadaran masyarakat terkait ancaman kepunahan bahasa daerahnya. Ia juga menyebut, kurangnya dukungan lembaga serta kurangnya pelatihan bagi penutur jati bahasa daerah juga menjadi penyebabnya.

Rene mengatakan, salah satu upaya untuk mencegah kepunahan bahasa daerah yang dapat dilakukan oleh pengumpul data adalah mencari kata yang harus diterjemahkan.

Baca Juga: Kursus Bahasa Indonesia di Mesir Dibanjiri Peminat, Ini Buktinya

“Kemudian melakukan verifikasi dengan melibatkan penutur jati; mengadakan lokakarya bagi penulis dengan membahas materi-materi yang bersifat kedaerahan; membuat kamus bergambar dan kamus tematik yang berisi kosakata ringan, misalnya seputar hewan dan tumbuhan; dan mengadakan lokakarya khusus untuk pengumpul data sehingga mereka saling bertukar ide dan gagasan seputar bahasa dan sastra daerah,” tutur René.

Sementara itu, pada hari kedua, Li Lan dari The Chinese University of Hong Kong, Shenzen, membahas isu bertema “Kata, Kamus, dan Sosiologi: Dampak Koroneologis”.

Li Lan dalam paparannya menyinggung perkembangan bahasa pada masa pandemi. Menurutnya, pandemi memiliki kesan khusus bagi para leksikograf.

“Bagaimana tidak, sejak pandemi hadir pada tahun 2020 banyak kosakata baru yang dengan cepat berkembang sehingga harus dipelajari serja dikaji oleh pakar bahasa di seluruh dunia,” kata Li Lan.

Baca Juga: Bahasa Indonesia Makin Diminati, KBRI Berlin Selenggarakan Kursus Bahasa Indonesia untuk Penutur Asing

Pembicara kunci terakhir, Rufus Gouws, dari Universitas Stellenbosch, Afrika Selatan, menyampaikan topik “Leksikografi dan Dokumentasi dalam Lingkungan Multibahasa”. Menurutnya, dokumentasi adalah pekerjaan yang paling penting bagi leksikograf.

“Dokumentasi bahasa melengkapi deskripsi bahasa yang bertujuan untuk mendeskripsikan sistem abstrak suatu struktur dan aturan bahasa dalam bentuk tata bahasa atau kamus. Dengan mempraktikkan dokumentasi yang baik dalam bentuk rekaman dengan transkrip dan kemudian mengumpulkan teks dan kamus, seorang ahli bahasa telah bekerja dengan baik untuk menyediakan bahan yang dapat digunakan oleh penutur bahasa tersebut,” ujar Rufus.

Pada kesempatan yang sama, Plt. Kepala Pusat Pengembangan dan Pelindungan Bahasa dan Sastra sekaligus ketua pelaksana, Dora Amalia, berharap hasil diskusi selama tiga hari itu dapat dijadikan referensi dalam kegiatan pendokumentasian bahasa.***

Editor: Sarnapi

Sumber: Kemendikbud

Tags

Terkini

Terpopuler