Kerajinan Kulit Buaya Terus Dikembangkan Demi Nilai Tambah Sumber Daya Lokal

Sam
1 Januari 2021, 16:18 WIB
Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Industri (BPPI) Kemenperin Doddy Rahadi /Facebook Balai Riset dan Standardisasi Industri Surabaya/

JURNAL SOREANG - Guna meningkatkan nilai tambah sumber daya lokal, seperti kulit buaya yang diolah menjadi barang kerajinan,
Kementerian Perindustrian terus mendorong optimalisasi potensi di berbagai daerah di Indonesia melalui kegiatan produksi industri.

"Salah satunya yang kami pacu adalah di Provinsi Papua, khususnya Kabupaten Mamberamo Raya. Kabupaten ini dialiri oleh tiga sungai besar yang menjadi habitat asli buaya air tawar, yaitu Sungai Mamberamo, Sungai Tariku (Sungai Rouffaer) dan Sungai Taritatu (Sungai Idenburg)," kata Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Industri (BPPI) Kemenperin Doddy Rahadi di Jakarta, Jumat 1 Desember 2021, dilansir dari Antara

Diketahui, terdapat dua jenis buaya yang menghuni sungai tersebut, yakni buaya muara (Crocodile porossus) dan buaya Irian (Crocodile novaguinea).

Baca Juga: Terkait Larangan FPI Kapolri Keluarkan Maklumat

Karena sebagai sumber protein untuk dikonsumsi atau kulitnya dijual kepada pengepul dalam bentuk kulit mentah, dedua jenis buaya ini menjadi perburuan bagi masyarakat tradisional Papua.

karena dianggap sebagai kerajinan yang membanggakan dan merupakan aset daerah, Pemerintah Daerah (Pemda) Papua sejak 2018 telah melegalkan pemasaran kulit buaya.

Namun, Doddy menjelaskan bahwa buaya yang boleh diburu yakni buaya yang berusia diatas satu tahun serta memiliki lebar perut 12 inchi.

Baca Juga: Pemerintah Hentikan Kegiatan dan Aktivitas FPI Dalam Bentuk Apapun

"Walaupun sudah dilegalkan pemda, ada standar untuk usia buaya yang kulitnya bisa dimanfaatkan yaitu berusia di atas satu tahun atau memiliki lebar perut 12 inchi." jelas Doddy dalam keterangan tertulisnya.

Hal ini juga untuk menghindari eksploitasi yang berlebihan terhadap populasi buaya di wilayah tersebut.

Kerajinan kulit buaya, menurut Doddy, dapat dikategorikan sebagai kerajinan eksotik dan bernilai jual tinggi di pasar internasional.

Baca Juga: Di Tahun Baru Ini 371.504 Bayi Diperkirakan akan Lahir, 12.336 di antaranya di Indonesia

Kulit buaya yang telah disamak dapat diolah menjadi produk kulit dengan nilai jual yang sangat tinggi mulai dalam bentuk dompet atau sabuk.

Karena motif kulit buaya yang unik dan eksotis, harga jual kerajinan kulit buaya di pasaran paling murah berkisar Rp300.000, sedangkan yang paling mahal bisa mencapai Rp30.000.000 untuk sebuah tas golf.

"Hal ini karena motif kulit buaya yang unik dan eksotis, sehingga cocok menjadi bahan baku produk fesyen. Kualitas kulit buaya turut menentukan tingginya nilai jual, untuk itulah proses penyamakan kulit harus benar-benar diperhatikan," jelas Doddy.

Baca Juga: Jarang Diketahui, Ini 12 Manfaat Jeruk Purut Bagi Kesehatan Tubuh Kita

Dinas Perindustrian dan Perdagangan Mamberamo Raya bersinergi dengan Balai Besar Kulit, Karet, dan Plastik (BBKKP) Yogyakarta, salah satu badan litbang di bawah BPPI Kemenperin yang juga menjadi pusat unggulan iptek (PUI) bidang kulit, melihat hal itu sebagai peluang serta berusaha untuk terus meningkatkan kerja sama di bidang pengolahan kulit buaya.

Kepala BBKKP Agus Kuntoro menyatakan pihaknya rutin mengadakan pelatihan dan bimbingan teknis pengolahan kulit dan bekerja sama dengan berbagai bidang pengolahan kulit eksotik yaitu barang kerajinan dari kulit pari, ular, buaya, sisik ikan, dan masih banyak lagi.

"Pengolahan kulit eksotik salah satunya ada di Papua, karena bahan baku kulit buaya yang cukup banyak dan bagus kualitasnya. Kami pernah mengadakan pelatihan di Kabupaten Mamberamo beberapa bulan yang lalu." kata Agus.

Baca Juga: Cecep Darmawan: Pandemi Harus Dilihat dari Sisi Positif. Covid-19 Jangan Dianggap Musibah

Dalam pelatihan tersebut, kata Agus, pihaknya membimbing masyarakat untuk melakukan penyamakan kulit buaya serta membuat kerajinan dari kulit buaya.***

Editor: Sam

Sumber: ANTARA

Tags

Terkini

Terpopuler