Konon dua patung hewan buas itu, jelmaan dua anak raja Brawijaya, kerajaan Majapahit, yang tersesat di sana, namun melanggar aturan. Akhirnya berubah wujud menjadi raja hutan penunggu hutan Panjalu Ciamis, hingga kini.
Ada salah satu kebudayaan masyarakat Panjalu, Ciamis, Jawa Barat yang masih lestari hingga kini adalah upacara adat sakral Nyangku, sebuah ritual upacara adat pemandian benda pusaka yang dilaksanakan pada setiap bulan Rabiul Awal atau maulud setiap tahunnya.
"Istilah Nyangku diduga berasal dari bahasa Arab 'yanko' yang berarti membersihkan, hingga akhirnya berubah dalam dialek lidah orang sunda menjadi nyangku. Makna dilaksanakannya upacara adat ini, menghormati peninggalan pusaka leluhur, atas jasanya menyebarkan agama Islam di wilayah itu," ucapnya.
Baca Juga: Marak Penipuan Tiket Konser Coldplay, Promotor Bakal Penuhi Panggilan Bareskrim
Untuk mempersiapkan perlengkapan upacara, Kata Dia, konon zaman dahulu, semua keluarga keturunan Panjalu akan menyediakan beras merah yang harus dikupas dengan tangan, bukan ditumbuk sebagaimana biasa. Selanjutnya beras ini digunakan sebagai bahan untuk membuat tumpeng dan sasajen.
"Ritual Nyangku diawali dengan berziarah ke makam raja di Situ Lengkong, Panjalu. Kemudian dilanjutkan dengan pencucian benda pusaka peninggalan raja. Kemudian seluruh benda pusaka yang didominasi perkakas dan senjata perang tempo dulu, dikeluarkan dan 'dimandikan' dari museum bumi alit dan situ Panjalu yang jaraknya berdekatan," jelasnya.
Belakangan air bekas pencucian kerap menjadi incaran peziarah atau pengunjung yang sengaja ingin mendapatkan keberkahan hidup.
Mereka rela berdesakan hanya demi mendapatkan air sisa basuhan tersebut. Sebuah kegiatan yang mesti dibarengi keyakinan kepada Alloh, jika tidak ingin menjadi perbuatan sirik.