Saat di Bandung, bersama beberapa saudaranya ia kadang ikut berjualan. Ia sempat berjualan arloji dan barang-barang lain.
Kebiasaan ini secara tidak langsung mendidiknya untuk hidup mandiri. Hingga saat ini, ia lebih banyak menggantungkan hidupnya pada usaha sendiri.
Kebiasaannya menulis sudah dilakukannya sejak mengaji pada ayahnya dulu. Selepas mengaji ia sering menuliskan khulâshah (ringkasan) berbagai kitab yang telah dipelajarinya.
“Sambil belajar dan bertabligh, saya mulai belajar menuliskan apa yang selama ini saya pelajari. Bahkan manuskripnya masih ada tersimpan rapi”, kenang ayah depalan anak ini. Kebiasaan inilah yang membuatnya sangat gemar menulis.
Sampai saat ini tidak kurang lima puluh (50) judul buku yang telah ditulis oleh kiai yang juga menjabat Ketua Bidang Tabiyah PP Persis ini. Sekarang Ketua Umum Persis.
Buku-buku yang ditulisnya pun sangat beragam mulai dari Ilmu Nahwu, Sharf, Ushul Fiqih, Musthalah Hadis, Fiqih Muqâranah, Tafsir, sampai tema-tema aktual kontemporer.
Apa yang ditulisnya menunjukkan keluasan penguasaan ilmunya dalam berbagai bidang. Tipikal para ulama yang dididik dengan model persantren turats memang tidak fakultatif. Semua ilmu sesuai dengan hirarki ilmu yang dikenal dalam tradisi Islam diajarkan.
Di antara buku yang paling fenomenal yang ditulisnya adalah Al-Muyassar Fi ‘Ilm Al-Nahwi. Buku ini sudah dicetak lebih dari tiga puluh kali sejak pertama kali terbit tahun 1980-an. Tidak hanya santri-santri di Pesantren Persis yang mendapat manfaat dari buku ini.