Ini Kata Mantan Kepala BAIS TNI Soal Pelibatan Tentara dalam Kontra Terorisme

8 November 2020, 16:09 WIB
Prajurit TNI sedang berlatih. Pelibatan TNI dalam kontraterorisme harus penuhi persyaratan. /Dok. TNJ/

JURNAL SOREANG- Mantan Kepala Badan Intelijen Strategis TNI (Bais TNI) Laksda TNI (Purn) Soleman B Ponto menyatakan pro dan kontra pelibatan TNI dalam kontraterorisme tidak akan dapat dituntaskan melalui sebuah Perpres. Ponto menyebutkan  dalam UU No.34/2004 yang bersifat hukum humaniter sudah ditegaskan bahwa kontraterorisme adalah salah satu tugas pokok TNI, namun dengan adanya persyaratan.

"Penggunaan kekuatan TNI dilakukan jika teroris sudah menguasai sebuah wilayah secara efektif dan teroris dapat melancarkan serangan sewaktu-waktu," kata Soleman Ponto dalam webinar memperingati Hari TNI bertema
“Pelibatan TNI dalam  Kontra Terorisme”, Sabtu, 7 November 2020.

Webinar yang diadakan Marapi Consulting & Advisory menggandeng tangan Pusat Studi Keamanan dan Internasional Fisip Unpad juga diisi narasumber Dr Idris, SH, MA; Dr Yusa Djuyandi, SIP, MSI; dan Beni Sukadis, M.Sos.

Baca Juga: Jokowi Ucapkan Selamat Buat Biden

Lebih jauh Soleman B. Ponto mengatakan, plibatan TNI juga apabila kelompok teroris memiliki hierarki kepemimpinan yang jelas;

"Hierarki kepemimpinan teroris memiliki kontrol efektif terhadap anggotanya," katanya.

Menurut Ponto, jika salah satu unsur di atas tidak terpenuhi, maka aparat penegak hukum seperti polisi yang bergerak berdasarkan UU No. 5/2018 yang bersifat hukum pidana.

Baca Juga: Gol Perdana Edinson Cavani Lengkapi Kemenangan MU atas Everton 3-1

"Permasalahannya terjadi ketika Pasal 43 UU No. 5/2018 menyebutkan bahwa pelibatan TNI dalam kontraterorisme diatur melalui sebuah Perpres sehingga menempatkan operasi TNI yang bersifat militer dalam kerangka pidana," ujarnya.
Ponto mengecam pasal tersebut yang menurutnya malah membuat UU No. 5/2018 berbenturan dengan UU No. 34/2004.

" UU No. 34/2004 sudah sangat jelas mewajibkan setiap operasi militer selain perang, termasuk operasi militer kontraterorisme, hanya dapat dilaksanakan dengan keputusan politik berupa otorisasi dari presiden dengan persetujuan DPR. Otorisasi tersebut bersifat spesifik dan insidentil sehingga setiap operasi berbeda harus mendapatkan otorisasi tersendiri dengan batasan waktu yang jelas," ucapnya.

Baca Juga: Doa yang Bagus untuk Mohon Keadilan

Sebaliknya menurut Ponto, Perpres pelibatan TNI dalam kontraterorisme yang merupakan turunan UU No. 5/2018 akan memberikan payung hukum untuk TNI melakukan terlibat kontraterorisme tanpa harus mendapatkan otorisasi khusus untuk setiap operasi yang dilaksanakan dan tanpa batasan waktu yang jelas.

"Untuk mengatur TNI cukup dengan UU No. 34/2004 saja karena jika diatur dalam UU No. 5/2018 malah akan bermasalah dikarenakan rezim hukum yang berbeda antara hukum humaniter dan hukum pidana," kata  Ponto mengusulkan agar dilakukan revisi terhadap UU5/2018 terutama pasal 43.

Ahli hukum Universitas Padjajaran Dr. Idris, SH, MA menyatakan, belum ada definisi konkrit terorisme di tingkat internasional dikarenakan adanya perbedaan konteks dan persepsi mengenai apa itu terorisme di setiap negara. "Aksi terorisme pun terus berubah-ubah metode dan jenisnya sehingga sulit untuk dibuatkan sebuah definisi konkrit yang dapat diterima oleh setiap negara," katanya.

Baca Juga: UU Siatem Pendidikan Nasional Harus Diubah

Idris menambahkan,  tidak semua konvensi internasional mengenai terorisme harus diratifikasi karena harus terlebih dahulu mempertimbangkan berbagai hal.
"Apakah kapabilitas dan konteks nasional mengenai aksi terorisme tertentu dapat terlayani dengan baik melalui ratifikasi tersebut," katanya.

Sedangkan pengamat serta Peneliti Bidang Politik dan Keamanan Fisip Unpad,  Dr. Yusa Djuyandi, SIP, MSI menegaskan,  memang pelibatan TNI dalam kontraterorisme diperlukan, namun dengan syarat harus adanya kontrol demokrasi terhadap pelibatan itu.

"Harus ada mekanisme kontrol demokratis yang efektif melalui keputusan politik presiden yang melibatkan DPR serta peran aktif masyarakat sipil. Kontrol demokrasi diperlukan agar kebijakan kontraterorisme yang diambil oleh pemerintah tidak bersifat politis dan emosional sehingga terhindar dari penyalahgunaan kekuasaan," katanya.

Baca Juga: Wakil Ketua MPR RI Ahmad Muzani: Wartawan atau Jurnalis Juga Layak Dapat Prioritas Pemberian Vaksin.

Yusa menambahkan pelibatan militer dalam kontraterorisme dapat dilakukan jika aksi terorisme sudah bukan lagi bersifat pidana namun sudah mengancam kedaulatan negara  "Bisa jug jika aktivitas terorisme bukan lagi bersifat domestik namun sudah berskala global," katanya.

Sementara peneliti dan aktivis Marapi, Beni Sukadis, M.Sos menyatakan, dalam supremasi sipil ada pemisahan yang jelas antara otoritas politik dan otoritas pelaksana dengan  militer harus tunduk pada supremasi sipil.

"Pejabat sipil terpilih adalah pengemban tanggungjawab membuat kebijakan dan keputusan mengenai keamanan. Amanat UU No. 34/2004 menegaskan bahwa TNI menjalankan tugasnya sesuai kebijakan dan keputusan politik negara sehingga dalam melaksanakan operasi militer selain perang (OMSP) keterlibatan TNI merupakan perbantuan dan bukan tugas pokok," ucapnya.

Baca Juga: Sejumlah Organisasi Pembebasan Rakyat Palestina, Sambut Baik Kemenangan Biden

Hukum yang berlaku juga menegaskan penanganan terorisme menggunakan pendekatan pidana dan bukan perang.
"Fungsi penangkalan TNI dalam keterlibatannya dalam kontra terorisme adalah rancu dan berpotensi bertabrakan dengan upaya penegakan hukum oleh institusi-institusi penegakan hukum sipil yang ada," katanya.***

Editor: Sarnapi

Tags

Terkini

Terpopuler