Yayasan Dana Sosial Priangan Kota Bandung Menggelar Festival Peh-cun (Bacang) yang Unik, Festival Seperti Apa?

14 Juli 2023, 07:16 WIB
pada Hari Minggu 25 Juni 2023 telah berlangsung Festival Peh-Cun (Bacang) di Graha Surya Priangan, Aula lantai 3, Jl. Nana Rohana N0.37 Kota Bandung. /Asep GP/JURNAL Soreang

JURNAL SOREANG - Sebagaimana diketahui, pada Hari Minggu 25 Juni 2023 telah berlangsung Festival Peh-Cun (Bacang) di Graha Surya Priangan, Aula lantai 3, Jl. Nana Rohana N0.37 Kota Bandung.

Acara yang digagas Yayasan Dana Sosial Priangan (YDSP) betajuk “Bacang dan  Tradisi Pe-cun: Harmoni Kuliner Tionghoa – Indonesia”, menghadirkan Pembicara Fadli Rahman, S.S., M.A. (dosen sejarah FIB Unpad) dan Sugiri, juga Penulis Buku: Rijsttafel, Jejak Rasa Nusantara.

Terlihat juga saat itu Abdul Hamid (dosen Bahasa Indoensia FIB Unpad), Lina Nursanti (wartawati/penulis), Hikmat Gumelar (alumnus Sastra Sunda Unpad) dan beberapa masyarakat Bandung lainnya terlihat berbaur dengan komunitas Tionghoa yang hadir saat itu.

Baca Juga: Setelah 25 Tahun Akhirnya Presiden Jokowi Audiensi dengan Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Indonesia (PSMTI)

Menurut Sugiri, Festival Tionghoa itu dalam satu tahun ada 6-7 acara yakni 3 festival  tentang kehidupan 3 tentang kematian.

Festival Bacang ini salah satu tentang kematian yang menurut legendanya berhubungan dengan kematian seorang sastrawan /penyair, negarawan kepercayaan Kaisar, bernama Qü Yuan (dibaca chü yuan) yang difitnah orang-orang istana yang dibayar musuh.

Setelah Qu Yuan tersingkirkan, pada tanggal 5 bulan 5 musuh berhasil masuk menyerang dan menduduki ibukota dan kaisar pun kalah .

Qu Yuan yang setia pada kaisar dan negaranya sangat sedih dan putus asa, lalu dia nekad mengikatkan dirinya ke batu besar lalu terjun ke Sungai Mi Luo , bunuh diri.

Baca Juga: Viral! Pakai Kostum ala Koko Tionghoa, Rayyanza Malik Ahmad Bikin Meleleh Netizen

Rakyat yang mengetahui Qu Yuan bunuh diri ramai-ramai mencari jasadnya tapi tidak ketemu. Mereka berpikir supaya jasadnya tidak dimakan ikan-dibuatlah nasi-nasi dibungkus (Bacang) lalu disebar di sungai. itu jadi tradisi Peh Cun.

“Itu benar tidaknya saya tidak tahu, soalnya Qu Yuan nya sendiri di buku (sejarah) ada tapi makomnya ga ada karena dia terjun ke sungai- kalau ada makomnya ceritanya akan lain lagi. Tapi mungkin boleh dipercaya juga karena di buku sejarah ada,” terang Sugiri.

Sugiri menambahkan, ada beberapa pendapat masyarakat tentang Festival Phe – Cun ini. Ada yang menganggap tradisi aja di tanggal 5 bulan 5, dan ada yang mengingat Qu Yuan juga Bacang nya.

“Yang jelas kalau dulu ketika saya kecil cari Bacang susah karena hanya ada ketika di tanggal 5 bulan 5 imlek saja. Tapi sekarang Bacang bisa dibeli setiap hari dan dijual di mana-mana, “ katanya.

Baca Juga: Jarang Diungkap: Potret Kesederhanaan Presiden Jokowi Antri di Depan Penjual Kuliner Legendaris Bacang Braga

Tapi yang utama dari acara ini kata Sugiri yang juga pernah mengajar Sastra Tiongkok di Unpad dan masih menjadi dosen luar biasa (arsitek)di Maranatha, dengan adanya acara terbuka bagi umum seperti ini, masyarakat tidak lagi berpandangan sempit kepada komunitas Tionghoa yang dianggap eksluif dan tertutup.

“ Dengan ketertutupan kan tidak ada segi kebaikan, banyaknya salah pengertian. Kami harapkan dengan adanya festival Tionghoa yang terbuka seperti ini masyarakat bisa mengerti latar belakang budaya kita, jadi ada saling pengertian, dengan begitu bisa mengurangi prasangka,” harapnya.

Sementara itu Fadli Rahman usai jadi pembicara mengatakan kepada wartawan, Bacang yang identik dengan kuliner kaum peranakan Tionghoa di Indonesia dalam proses historisnya ada akulturasi-akultiurasi yang kemudian membuat makanan ini menjadi sangat diterima, diataptasi masyarakat lokal.

Baca Juga: Kenapa Ada Orang yang Tak Suka dengan Keturunan Tionghoa? Ternyata Ini Alasannya

Jadi ini salah satu wujud kontribusi kaum pernanakan Tionghoa dalam khasanah kulinernya seperti halnya produk-produk kuliner peranakan Tionghoa lainnya yang bisa mengalami proses lokalisasi hingga akhirnya diterima setelah melalui proses modifikasi.

"Misalnya bacang kalau di negara asalnya China tidak menggunakan kecap manis, tapi dalam khasanah kuliner Indonesia ditambahkan kecap karena orang Indonesia menyukai cita rasa manis. Begitu juga untuk membuatnya wangi ditambahkan bawang merah. Ini yang membuat kenapa Bacang menjadi Simbol/simpul keharmonian budaya Tionghoa dengan Indonesia,” terangnya.

Tentang kehalalan Bacang, Kata Fadli karena ada adaptasi kultural, ada akulturasi dengan budaya lokal di Indonesia yang mayoritas Muslim ini membuat isian Bacang menjadi berubah.

Baca Juga: Makanan Singapura yang Terpengaruh Budaya Tionghoa, Salah Satunya Hokkien Prawn Mee, Ingin Coba?

Dalam pengolahnnya yang semula di dalam pandanagan orang -orang Islam Bacang sebagai makanan yang tidak layak dikonsumsi karena keharamannya, tapi dengan adanya proses akulturasi adaptasi dengan kultural masyarat setempat yang masyoritas Muslim ini membuat Bacang berubah.

"Ini juga menjadi segmen para produsen Bacang tidak lagi menggunakan daging babi tapi daging ayam atau daging sapi cingcang yang memang sangat disukai masyarakat kita sebagai menu sarapan pagi," katanya.

Jadi kita tidak bisa memungkiri keberhasilan masyarakat Tionghoa dalam beradaptasi dengan budaya lokal/ Jabar dan wilayah lainnya dan itu satu hal yang bisa mengubah persepsi-persepsi negatif yang ada dalam sejarah dan tetap hidup tentang komunitas Tionghoa.

Jadi kata Fadli, yang perlu direpleksikan dari Fhe cun atau Festival Bacang ini adalah suatu ruang bagi masyarakat keturunan Tionghoa maupun bagi masyarakat warga kota Bandung untuk melihat bagaimana pertemuan budaya yang nyata dari sejarah hubungan antara orang-orang Tionghoa dengan masyarakat lokal di kota Bandung.

Baca Juga: Memilih Gadis Asia Sebagai Pendamping Hidup, Mark Zuckerberg: Istri Saya Keturunan Tionghoa dan Tidak Cantik

“Jadi ini menjadi suatu momentum yang bisa mengikis sekat-sekat pembatas antara orang-orang Tionghoa dengan masyarakat lokal-Sunda/ Bandung. Acara seperti hari ini seperti mengingatkan kembali kepada sejarah yang sudah hidup puluhan tahun lalu, “pungkas dosen Departemen Sejarah dan Filologi FIB Unpad.

Usai acara wartawan juga diajak Johan melihat-lihat Museum Kebudayaan Tionghoa di Lt. 2 Gedung Graha Surya Priangan.

Geleri Budaya ini terdiri dari tiga bagian: Ruang Perpustakaan (ruang komputer, website untuk para pembaca dan peneliti), Klip Gambar (Bandung tempo dulu dan foto pendiri/para ketua YDSP serta data rekaman kegiatan yayasan), dan beberapa tema seperti sejarah perkembangan YDSP.

Selain itu, budaya tradisional suku Tionghoa, budaya kuliber Tionghoa, perpaduan busana lokal dan Tionghoa, klip sejarah masyarakat Tionghoa awal yang migrasi ke Indonesia, klip keikutsertaan masyarakat Tionghoa yang ikut berjuang merebut kemerdekaan Indonesia dari penjajah Belanda, klip tokoh-tokoh masa kini yang turut berjasa membangun Negara, berkarya di bidang seni, budaya, olahraga, ekonomi, politik, dsb, ratusan klip yang menampilkan klenteng, vihara, tapekong, tragedi 98 serta dokumentasi visual masyarakat Tionghoa- Muslim di Madura, diskusi penggantian nama, dsb.***

 

Editor: Sarnapi

Tags

Terkini

Terpopuler