Pernikahan Putri Mako, telah menyoroti seruan sebelumnya agar memungkinkan kekaisaran menjadikan perempuan sebagai bagian dari garis sukesi, sebagai cara untuk menopang monarki tertua di dunia masih bisa berjalan baik secara turun temurun.
Hal tersebut juga bisa sejalan dengan gagasan yang lebih modern tentang kesetaraan gender. Bahkan, menurut jajak pendapat Kyodo News yang diambil pada Maret dan April lalu menunjukkan hasil yang cukup menggembirakan.
Dari 85 persen responden, mengatakan bahwa mereka mendukung wanita bisa menjadi seorang kaisar. Kemudian 75% mengatakan mereka akan mendukung permaisuri untuk bisa mewariskan tahta kepada anak-anaknya sendiri.
Ironisnya, keluarga kekaisaran Jepang sampai saat ini tidak bisa berbuat apa-apa. Peran Monarki, termasuk garis sukesi, diatur sepenuhnya oleh hukum Jepang.
Dalam dua dekade terakhir, beberapa pejabat tinggi politik juga telah mempertimbangkan untuk mengubah aturan, tetapi tidak berhasil.
Baca Juga: Adanya Dugaan Fee Proyek di Pemkab Banjarnegara, KPK Dalami Soal Besaran Komitmen
Pada tahun 2006, undang-undang yang diusulkan untuk memungkinkan ahli waris perempuan berada di garis takhta dibatalkan setelah kelahiran Pangeran Hisahito, anak laki-laki pertama yang lahir setelah hampir empat dekade.
Sementara situasi jumlah bangsawan semakin menurun, nampaknya putri Mako tidak mau ikut campur dengan urusan tersebut.
Mako dan suaminya Kei Komuro, akan tinggal di New York, karena Komuro telah bekerja disebuah firma hukum disana.***