Dubes Heri menambahkan bahwa Jepang sendiri memiliki produk semacam minuman sehat yang mengandung bakteri probiotik. Sementara Indonesia memiliki tempe yang bergizi tinggi.
“Jadi, promosi nilai dan manfaat tempe bagi kesehatan harus terus dilakukan agar menjadi makanan yang dicari dan dibutuhkan masyarakat Jepang,” ujarnya.
Rustono menyampaikan, tempe yang dikembangkannya di Jepang dilakukan secara otodidak. Walaupun lokasi Shiga terpencil, dirinya memilih lokasi ini karena ketersediaan air bersih yang kualitasnya mendukung proses produksi tempe. Industri tempe yang dikembangkannya berbahan kedelai non-GMO atau Non-Genetically Modified Organism.
Baca Juga: Harga Tahu dan Tempe Naik, tapi Diburu Warga, Ini Tujuh Manfaat Hebat Kedelai
Sebagai informasi, GMO adalah teknik modifikasi DNA organisme lewat rekayasa genetika. “Kapasitas produksi kami maksimal 10 ribu tempe per siklus,” tambah Rustono.
Rustono juga terus berupaya memperkuat jaringan dan meningkatkan pengetahuan dengan menjadi anggota Tempe Society of Japan.
“Komunitas ini senantiasa mengadakan pertemuan ilmiah tahunan dan menghasilkan publikasi Journal of the Tempe Society of Japan,” jelas Rustono.
Baca Juga: Antisipasi Kelangkaan Tahu Tempe, Disperindag Rekomendasikan Kenaikan Harga Maksimal 30 Persen
Dirinya juga banyak mengenal anggota Forum Tempe Indonesia. Tidak hanya di Jepang, Rustono pun mengembangkan industri tempe di Mexico.
“Tempe yang dijual di Mexico, kami berikan kutipan ‘Hadiah Indonesia untuk Dunia’,” pungkas Rustono.***