JURNAL SOREANG - Bagi kalangan Ibu rumah tangga merk Tupperware sebagai perlengkapan makan dan minum sangat digemari, Terutama untuk persiapan bekal anak.
Nama Tupperware dianggap cukup bergengsi sampai-sampai, ada ungkapan Ibu-Ibu lebih takut kotak bekal anaknya hilang, dari pada anaknya yang tidak pulang.
Tentunya itu hanya candaan saja yang menunjukkan betapa berharganya perabotan merk ini.
Namun kabar kurang menyenangkan kini beredar, setelah berdiri selama 77 tahun, Tupperware terancam gulung tikar.
Perusahaan utama Tupperware di Amerika sedang menghadapi krisis keuangan besar.
Sehingga dalam waktu dekat perusahaan yang didirikan oleh Earl Silas Tupper sejak tahun 1948 berencana mengurangi karyawan dengan PHK.
Dari data yang dihimpun Jurnal Soreang, Tupperware terus mengalami kerugian akibat harga saham yang anjlok sampai 90% selama satu tahun terakhir.
Baca Juga: Malam Lailatul Qadar: Baca Doa Ini di 10 Hari Terakhir di Bulan Ramadhan, Ini Bacaan Doanya
Untuk menjelaskan akibat kerugian dan kemerosotan yang dialami Tupperware, seorang analis ritel dari Global Data Retail.
Bernama Neil Saunders membuat analisis mengapa kebangkrutan bisa menghantui perusahaan besar ini.
Rupanya, Tupperware dianggap tidak mampu bersaing dengan kemajuan jaman dan tidak melakukan pengembangan inovasi yang menarik hati anak muda.
Sehingga penjualan menurun drastis dari tahun ke tahun.
Hal itu tentunya menjadi efek domino bagi perusahaan yang kesulitan membayar biaya operasional. Terlebih jika tidak ada investor yang mau memberi modal tambahan.
Masalah lainnya, New York Exchange telah memberi beberapa kali peringatan, karena Tupperware tidak kunjung melaporkan pendapatan tahunan mereka.
Mereka yang bisa berakibat fatal dihapusnya saham Tupperware dari bursa saham. Unjuk mengatasi krisis yang dialami CEO Tupperware mengatakan mereka sedang berupaya mencari dana tambahan untuk memperbaiki situasi.
"Perusahaan ini dulunya adalah pusat inovasi untuk peralatan dapur, tapi sekarang keunggulannya hilang." Kata Analis Ritel Neil Sauders.
Berhadapan dengan tantangan inovasi, akan kah kejatuhan Nokia terulang pada Tupperware? ***