Fikri menilai, bila revisi undang-undang ASN dijadikan alasan untuk menunda penyelesaian guru honorer, maka hal itu ibarat memberi harapan yang tidak jelas. “Ini soal keseriusan kita dalam menyelesaikan, karena setiap kali penyelesaian honorer, malah timbul masalah baru,” terangnya.
Dia menyinggung soal permasalahan yang timbul dalam rekrutmen PPPK bagi guru honorer digelar. Guru honorer yang telah lama bertugas, kalah bersaing dan gagal lolos seleksi karena harus bersaing dengan guru-guru baru dan lulusan perguruan tinggi yang lebih muda usia dan kemampuan kognitifnya.
“Akibatnya honorer lama tetap tidak terekrut, padahal rekrutmen PPPK seharusnya jadi prioritas untuk menyelesaikan status bagi honorer yang sudah mengabdi puluhan tahun,” kata dia.
Selain itu yang terbaru, guru-guru dari sekolah swasta yang lolos seleksi PPPK menyebabkan sekolah-sekolah swasta tempat asal mereka mengajar menjadi terancam kekurangan guru. “Ada sekolah yang dari guru totalnya ada 40 orang, tinggal 15 guru saja,” kisah dia mencontohkan.
Sehingga asosiasi Pendidikan meminta agar guru-guru swasta yang lolos seleksi PPPK dikembalikan ke tempat asal dia mengajar.
Namun hal tersebut bakal melanggar ketentuan perundangan. Pasalnya, UU nomor 5/2014 tentang Aparatus Sipil Negara (ASN) menyebutkan definisi, bahwa PPPK digaji oleh pemerintah dan bekerja pada instansi pemerintahan.
“Walaupun hal itu bisa saja disiasati dengan penerbitan aturan tambahan soal penugasan PPPK pada instansi swasta, nomenklatur itu pernah ada dengan nama guru bantu dan dosen bantu, yakni PNS guru & dosen yang bekerja diperbantukan di instansi swasta,” urai Fikri.***