Network
JURNAL SOREANG - Olahraga paling populer di dunia mengingatkan kita pada kehebatan kolektif kita, tetapi juga pada penindasan kolonial
Saya tidak sabar untuk Piala Dunia 2022 Qatar seperti dilansir Jurnal Soreang dari andscape.com.
Sebagai anak dari orang tua Jamaika, lahir dan besar di West Palm Beach, Florida, saya mulai bermain sepak bola ketika saya berusia 4 tahun, mencoba meniru kakak laki-laki saya, yang unggul dalam olahraga.
Piala Dunia pertama yang saya ingat adalah Prancis 1998, sebagian karena Jamaika membuat penampilan pertamanya (dan masih satu-satunya). Meskipun saya lahir di Amerika, saya tidak pernah merasakan koneksi ke tim nasional pria AS.
Baca Juga: Laga Panas di Grup H Piala Dunia 2022 Qatar, Ghana akan Balas Dendam Terhadap Tim ini
Tidak hanya mereka dinilai berlebihan, mereka memiliki beberapa pemain kulit hitam, bahkan ketika Eddie Pope dan Cobi Jones berada di puncaknya.
Penampilan tim nasional kami tidak mengejutkan saya. Sepak bola, bagaimanapun, adalah olahraga "putih", atau begitulah yang dikatakan oleh arus utama Amerika dan teman-teman saya.
Ketika saya bermain, saya sering menjadi satu-satunya anak kulit hitam di tim — tetapi saya hampir tidak merasa sendirian.
Saya selalu tahu bahwa saya adalah bagian dari komunitas yang lebih besar yang bermain dan menyukai “permainan yang indah.”
