Aktivis KAMI Ditangkap, Refly Harun Singgung Emak-emak yang Beri Makanan Pada Pengunjuk Rasa

- 19 Oktober 2020, 12:09 WIB
Refli Harun
Refli Harun /

JURNAL SOREANG - Menyusul ditangkapnya sejumlah aktivis mereka, Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) membuat sebuah petisi di laman change.org, 16 Oktober 2020. Hingga saat ini, petisi tersebut sudah dikunjungi dan ditandatangani oleh lebih 6.000 pendukung.

Meskipun demikian, pro kontra terkait KAMI pun masih terus berlanjut. Ada pengamat menilai yang menilai bahwa KAMI adalah organisasi yang jelas harus dibubarkan, namun ada juga yang menilai penangkapan aktivis KAMI sebagai bentuk belenggu kebebasan berpendapat.

Menyoroti hal itu, pengamat politik sekaligus pakar hukum tata negara, Refly harun berpendapat bahwa lagi-lagi kisruh seputar KAMI lagi-lagi menjadi bentuk ujian terhadap rasionalitas kita dalam bernegara. Terlebih bagi pihak kepolisian yang selain merupakan penegak hukum, juga memiliki fungsi yang lebih besar untuk melindungi dan mengayomi masyarakat.

Baca Juga: Ajaran Islam Wajibkan Pakai Masker. Ini Alasannya

Polisi, kata Refly, seharusnya mencari orang jahat, bukannya orang yang sekedar salah. "Namun kadang-kadang penegak hukum kurang bisa membedakan antara orang jahat dan orang bersalah, apalagi kalau bergerak di ranah politik," ujarnya dalam video yang diunggah dalam akun resminya Refly Harun, Senin 19 Oktober 2020.

Menurut Refly, politik itu dinamis dan berputar dalam soal perkubuan antara pemerintah dan oposisi. Oleh karena itu jika penegak hukum ikut di ranah itu, maka akan berbahaya.

Refly mencontohkan UU ITE yang dibuat untuk mencari penjahat yang menggunakan internet untuk mengeruk kekayaan lewat kejahatan seperti penipuan dan korupsi. "Bukan yang dipatroli, mereka yang menggunakan untuk mengkritisi pemerintah," ucapnya.

Baca Juga: Golongan Darah Ini Lebih Disukai Nyamuk Lho

Refly menegaskan, penegak hukum harus betul-betul bisa menjadi jadi wasit yang baik dalam arena poilitk. Polisi tidak boleh menjadi alat kekuasaan, tetapi harus menjadi alat negara, karena sejatinnya polisi adalah pelindung dan pengayom masyarakat, terakhir baru fungsi penegakan hukum.

"Memang Kapolri diangkat dan bertanggung jawab pada presiden, tetapi penegakan hukum harus jauh dari politisasi, penegakan hukum yang baik tidak boleh dicampuradukan," kata Refly.

Terkait penangkapan aktivis KAMI, Refly pun berharap polisi bisa mempertajam rasionalitas. Soalnya publik bertanya-tanya apakah hal itu terkoordinasi dengan istana atau tidak, sehingga ragu jika penangkapan itu adalah murni patroli siber dan penegakan hukum.

Baca Juga: Golongan Darah Ini Lebih Rendah Risiko Terkena Covid-19

"Tapi terlihat betul nuansa pembunuhan karakter KAMI. Padahal organisasi ini adalah kumpulan aktivis intelektual, orang yang memiliki ide dan gagasan. Meskipun mungkin ada satu atau dua yang menyampaikan kritikan dengan cara keras dan pedas. Tetapi tidak sepatutnya juga diganjar dengan penangkapan dan pemborgolan," tutur Refly.

Kritis keras, kata Refly, tetap harus dihormati sebaga bagian dari dinamika demokrasi. Sekalipun ada unsur pencemaran nama baik, itu tertuju langsung kepada pribadi, sehingga harus diserahkan kepada orang yang bersangkuta itu untuk mengajukan gugatan atau tidak.

"Kalau itu merupakan pendapat yang disampaikan kepada khalayak umum dan institusi, maka tidak seharusnya ada pihak tertentu yang tersinggung dan merasa diserang. Karena kritik di negara demokrasi itu boleh dilakukan, sepanjang dilakukan terhadap institusi dan lembaga bukan orang per orang," kata Refly.

Baca Juga: Golongan Darah Ini Lebih Rendah Risiko Terkena Covid-19

Meskipun demikian, Refly pun mengingatkan aktivis dan masyarakat umum ketika menyampaikan kritik kepada seorang presiden. Soalnya dalam diri seoranb presiden, melekat dua kapasitas sekaligus, sebagai pribadi dan lembaga.

"Tetapi presiden juga harus bisa menerima konsekuensi kondisi bahwa mereka akan mudah dikritik. Tapi kan sebagai imbangannya, mereka menguasai semua sumber daya negara mulai dari aparat, APBN, BUMN dan lain-lain. Jadi itu balancenya dibalik makna Check and Balance antara State and Society (negara dan masyarakat)," tutur Refly.

Refly juga menekankan agar penegak hukum untuk lebih rasional dalam mengaitkan pernyataan di medsos dengan kerusuhan dalam unjuk rasa. "Unjuk rasa bukan barang haram, tetapi yang haram adalah mereka yang buat kerusuhan," ucapnya.

Baca Juga: Real Sociedad ke Puncak, Villarreal Ikut Salip Real Madrid di Klasemen La Liga Spanyo 2020-2021.

Menurut Refly, pelaku kerusuhan bukanlah pengunjuk rasa sebenarnya, tetapi oknum tak bertanggung jawab yang memang menyusup dan bersembunyi dibalik massa unjur rasa. Kalaupun ada otaknya atau dalangnya, merekalah yang memang langsung menggerakan untuk rusuh.

Oleh karena itu, tidak bisa langsung begitu saja mereka yang beropini mendukung aksi unjuk rasa di medsos, lantas dikaitkan tersangka dalang kerusuhan. Begitu pula dengan mereka yang mendukung unjuk rasa secara langsung, bukan berarti mereka provokator.

"Kalau ada sekelompok ibu-ibu memberikan makanan, obat atau apa saja yang berguna kepada massa unjuk rasa, tidak ada masalah. Unjuk rasa itu konstitusional, sehingga boleh saja ada yang bersimpati pada mereka. Yang salah itu kalau mereka memberikan senjata, batu atau apa yang bisa membahayakan," kata Refly***

Editor: Handri

Sumber: YouTube


Tags

Artikel Pilihan

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x