Setelah adegan itu, kami dipersilakan duduk. “Jam berapa dari Jakarta?” Kang Emil bertanya ramah, basa-basi, diiringi senyuman, dengan suara rendah seorang ayah yang kenyang menangis semalaman.
Sialnya, tak ada satupun dari kami yang menjawab pertanyaan itu. Kami tahu pertamyaan itu tak perlu jawaban. Sementara rasa sedih masih begitu menyesakkan.
Obrolan pun mengalir. Kang Emil bercerita bahwa ia sedang berusaha menata hati. Tidak mudah kehilangan putera pertama yang ia sayangi dan banggakan, tetapi Kang Emil dan Teh Lia harus ikhlas merelakan.
“Ini sudah ketetapan Allah. Ternyata dari peristiwa ini saya belajar, yang datang duluan, belum tentu pergi duluan. Yang datang belakangan, belum tentu pergi belakangan. Semua Allah yang mengatur, sudah tertulis di Lauh Mahfudz. Saya kira kita semua pada saatnya akan merasakan apa yang saya rasakan saat ini, kehilangan orang yang kita cintai, sekarang jadwalnya sedang tiba kepada kami sekeluarga.” Katanya.
Baca Juga: Membongkar Kejahatan Robot Trading Fahrenheit, Polri: Untuk Dalang Penipuan Akan Mendapat Hukuman Berat
“Kang Emil, saya masih ingat di pertemuan terakhir di rumah saya, kita saling bercerita tentang anak. Makanya saya sedih sekali mendengar kabar ini. Saya tak sanggup membayangkan.” Sela Pak Zul sambil menggeleng-gelengkan kepala.
Kang Emil tersenyum. “Hidup ini memang banyak breaking news-nya, Pak Zul.” Kata-kata itu terdengar sederhana, tetapi dalam sekali maknanya.
Kang Emil kemudian bercerita tentang bagaimana lika-liku kisah Eril lahir di New York, tumbuh besar di Indonesia, menjadi pribadi dengan akhlak yang membanggakan kedua orangtuanya hingga ia lulus kuliah.
Kemudian meninggal di negara yang menurut Kang Emil salah satu yang terindah di dunia, seperti di surga, Swiss, saat hendak ‘berlibur’ dan mencari sekolah.
“Tadinya saya berpikir, kenapa kalau mau ‘diambil’ tidak di Indonesia saja? Tapi akhirnya saya menyadari, Eril lahir di Amerika, Amerika itu bumi Allah. Meninggal di Swiss, Swiss juga bumi Allah. Di manapun di dunia ini sama-sama bumi Allah. Sama saja kalau kita mindsetnya sudah ‘paspor’, di manapun sebenarnya bumi Allah juga.” Ungkapnya.
Bagi Kang Emil, kehilangan putera sulungnya di negeri orang adalah semacam ‘ujian kekuasaan’.