Padahal pemerintah Brunei diuntungkan dalam federasi lalu pada tanggal 12 Januari 1962, pemimpin PRB A. M. Azahari diangkat menjadi anggota Majelis Negara Brunei dan PRB.
Secara mengejutkan layaknya PKI di Indonesia pada masa Presiden Soekarno, pimpinan komunis di PRB memenangkan 16 kursi legislatif terpilih dari 33 kursi legislatif pada bulan agustus tahun 1962.
Pertemuan pertama Dewan Legislatif dijadwalkan pada 5 Desember 1962 dan PRB menyatakan bahwa ia akan mengajukan beberapa resolusi radikal.
PRB menolak bergabungnya Brunei ke Malaysia, mereka ingin mengembalikan Borneo Utara dan Sarawak dari Malaysia kembali ke Brunei untuk membentuk sebuah negara merdeka yang dikenal sebagai Negara Kesatuan Kalimantan Utara.
Namun ketika akhirnya Brunei Darussalam merdeka pada tahun 1963, raja Brunei saat itu yakni Sultan Omar Ali Saifuddin III menolak usulan resolusi dan menunda pembukaan Dewan Legislatif untuk 19 Desember 1962.
Baca Juga: 5 Fakta Persib vs Persikabo di Liga 1 2021-2022: H2H, Susunan Pemain
Lantaran tak terima dengan penolakan tersebut, akhirnya PRB melakukan pemberontakan bersenjata pada tanggal 8 Desember 1962 di daerah perbatasan Kalimantan Utara dan Sarawak.
Para pemberontak yang dikenal sebagai Angkatan Nasional Kalimantan Utara (ANKU) atau Tentara Nasional Kalimantan Utara (TNKU) itu menduduki beberapa kota utama.
Namun, polisi Brunei tetap setia kepada Sultan Omar Ali Saifuddin III yang merupakan ayah Sultan Hassanal Bolkiah dan pemerintahannya dibantu pasukan Inggris yang mendarat dari Singapura pada malam pada hari yang sama.