Hadapi Ancaman Krisis Pangan Dunia, Wow Perlukah Serangga Menjadi Sumber Pangan Masa Depan?

5 Maret 2023, 20:59 WIB
Hadapi Ancaman Krisis Pangan Dunia, Wow Perlukah Serangga Menjadi Sumber Pangan Masa Depan? /Kabar Banten /

JURNAL SOREANG - Menteri Luar Negeri RI, Retno marsudi membahas tentang krisis pangan yang semakin menghawatirkan, dalam seminar nasional PPRA 64 Lemhannas RI, Oktober 2022.

Menlu Retno menyampaikan bahwa angka krisis pangan mengancam sekitar 180 Juta orang di 41 Negara.

Krisis pangan, energi dan keuangan saat ini menjadi realita yang akan dihadapi dunia akibat dari perang Rusia dan Ukraina.

 Peningkatan harga minyak, energi dan gas yang tinggi pada tahun 2022 mengakibatkan inflasi dan pertumbuhan ekonomi yang lambat diberbagai Negara pada tahun 2023.

Menko Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto memberikan pendapat yang sama dengan Menlu Retno, bahwa efek dari situasi Ukraina meningkatkan jumlah orang yang rawan pangan sebanyak 2 kali lipat dalam 2 tahun belakang.

Untuk diketahui, rawan pangan merupakan kondisi ketidakcukupan pangan yang dialami daerah, masyarakat, atau rumah tangga.

Ditengah ancaman krisis, semua pihak terus mencari pangan alternatif untuk pengganti beras sebagai pilihan karbohidrat utama.

Baca Juga: Kepala Badan Pangan PBB Ceritakan Adegan 'Apokaliptik' di Turki yang Dilanda Gempa, Korban Capai 50 Ribu Jiwa

Sekda Provinsi NTB, Lalu Gita Ariadi, dalam Gerakan Expose UMKM Pangan Lokal memberikan banyak referensi kepada masyarakat bahwa Umbi-umbian, sukun, jagung dan sagu memiliki nilai gizi yang setara dengan beras.

Penganan lokal tersebut dapat menjadi trend jika diolah menyesuaikan selera pasar dan perkembangan inovasi.

Selain umbi-umbian, narasi tentang serangga merupakan sumber pangan masa depan pernah menjadi fokus penelitian.

Di beberapa Daerah, sebutlah Gunung Kidul, Pulau Samosir dan Papua, masyarakatnya biasa mengkonsumsi serangga sebagai lauk. Belalang goreng, ulat sagu, capung bahkan laron merupakan makanan yang gurih dan berprotein tinggi.

 Hanya saja stigma jijik masih membayangi masyarakat Indonesia sendiri jika membicarakan panganan yang dianggap ekstrem ini.

Kepala Litbangmas Universitas Katolik Santo Thomas, Medan, Posman Sibuea mengungkapkan hasil penelitiannya, "kita harus mempromosikan sumber pangan lokal kalau tidak ingin terpengaruh krisis pangan. Kesan jijik dan simbol kemiskinan harus diubah. Serangga hampir 60% dari bertanya merupakan protein."

David Gordon, penulis buku The Eat A Bug Cookbook, menjelaskan bahwa menu serangga relatif lebih ramah lingkungan dibandingkan dengan daging ayam atau sapi.

Sektor peternakan serangga sangat kecil memberi dampak produksi rumah kaca. Serangga juga tidak membutuhkan tempat yang besar dan tidak membutuhkan banyak pasokan pakan.

Baca Juga: Presiden Jokowi Cek Harga Bahan Pangan di Pasar Wonokromo, Ini Hasil yang Diperoleh

Persepsi baru tentang serangga sebagai sumber pangan juga ikut dikomentari oleh pakar Teknologi Pangan, Prof. Budi Widianarko, agar serangga tidak dilihat sebagai sumber protein saja tetapi juga fungsionalnya berfungsi sebagai medis atau afrodiasiak.

Dalam konteks perubahan iklim dan krisis pangan yang mengancam Budi Widianarko menyarankan Lembaga Penelitian dan Pemerintah secepatnya meng inventarisasi bahan makanan lokal apa saya yang dimiliki Indonesia sebagai kekayaan hayati.***

Ikuti terus dan share informasi Anda di media sosial  Google News Jurnal Soreang ,  FB Page Jurnal Soreang,  YouTube Jurnal Soreang ,  Instagram @jurnal.soreang  dan  TikTok @jurnalsoreang 

Editor: Sarnapi

Sumber: Lemhanas RI

Tags

Terkini

Terpopuler