Keberadaan media sosial, kata Kang Enjang, menjadi media yang bisa mempengaruhi terbangunnya polarisasi dengan berbagai berita yang tidak benar.
Persoalannya tersebut terjadi akibat para pengguna informasi cenderung kurang selektif dan hanya didasarkan pada pengetahuan yang terbatas pada kelompoknya.
"Ditambah kurang memperhatikan benar atau tidaknya informasi yang masuk kepadanya. Bahkan seringkali mudah terprovokasi oleh informasi yang didapatkannya. Padahal, suatu informasi bisa saja salah atau memang sengaja dibuat salah, atau dibuat sesuai fakta tetapi dimaksudkan untuk merugikan atau menyudutkan seseorang, kelompok, organisasi atau bahkan negara," papar Enjang.
Dalam media sosial, secara umum masyarakat sering mendapatkan informasi yang tak benar. Bahkan ada informasi yang mengandung unsur kepalsuan (false) dan merugikan (harmful), atau setidaknya ada semacam kekacauan informasi (information disorder) yang terdapat di dalamnya.
Fenomena ini tidak hanya terjadi di ranah politik, tetapi terjadi juga di ranah kehidupan berbangsa dan bernegara serta kehidupan beragama.
Baca Juga: Dorong Kesuksesan Pemilu 2024 pada 14 Februari 2024, Ini yang Ditekankan Komisi II DPR
Berdasarkan laporan hasil kajian Setara Institute, Jawa Timur disebut sebagai provinsi dengan tingkat pelanggaran Kebebasan Beragama dan Berbudaya (KBB) paling banyak. Provinsi tersebut menggeser posisi Jawa Barat yang seringkali disebut sebagai provinsi yang intoleran.
Menariknya, data tersebut menunjukkan bahwa salah satu kasus yang paling banyak muncul adalah penolakan atas ceramah keagamaan (Islam) yang dilakukan oleh beberapa ustadz oleh kelompok-kelompok Islam tertentu.