JURNAL SOREANG- Pemerintah, saat membuat keputusan tentang pembatalan pemberangkatan Ibadah Haji 2021 sudah barang tentu merupakan hasil kajian dari berbagai aspek. Intinya kebijakan tersebut sebagai konsekuensi dari menjaga kemaslahatan bagi masyarakat secara umum.
"Ilmu Fikih melalui Kaidah fikihnya telah memberi rambu-rambu bagi pemerintah ketika membuat sebuah keputusan yakni tahsarruf al-imam manuth bil maslahah. Artinya bahwa kebijakan pemerintah senantiasa harus mengikuti prinsip kamaslahatan," kata Sekretaris Umum MUI Kabupaten Bandung, Dr. Harry Yuniardi saat dihubungi Minggu 6 Juni 2021.
Lebih jauh Harry yang juga kepala Laboratorium Syariah UIN Sunan Gunung Djati menambahkan, koridor utamanya adalah langkah yang diambil ketika dihadapkan pada kasus yang mengandung potensi kerusakan dalam sebuah kebaikan, maka menolak potensi kerusakan harus didahulukan dari pada meraih kebaikan (dar'u al-mafasid muqaddamun 'ala jalb al mashalih).
Baca Juga: Calon Haji dan Pembimbing Kecewa Penundaan Ibadah Haji 2021, tapi Hanya Bisa Pasrah
"Bukan kali ini saja ibadah haji dibatalkan sebab dulu tahun 1947, Menteri Agama saat itu, Prof. KH. Fathurrahman Kafrawi, mengeluarkan Maklumat No. 4 Tahun 1947 yang menegaskan penghentian pemberangkatan jemaah haji selama kondisi masih genting," ujarnya
Hal tersebut berangkat dari fatwa yang dikeluarkan oleh Hadratusy Syaikh Hasyim Asy'ari yang memfatwakan bahwa pergi haji saat kondisi genting dihukumi tidak wajib.
"Kalau membaca kutipan dalam tafsir Al-Jami' al-Ahkam, karya Imam Al-Qurthubiy, bahwa Sahal al-Tustariy, gurunya al-Halaj, berkata bahwa rakyat harus taat kepada pemimpinnya dalam 7 hal, yaitu: kebijakan keuangan, timbangan, hukuman, ibadah haji, jumatan, hari raya Ied, dan seruan perang," ujsr Harry yang juga pengurus BAZNAS Kabupaten Bandung.
Kita selaku rakyat, kata Harry, harus mengapresiasi keputusan pemerintah pembatalan haji 2021 tersebut, meski memang terasa menyesakkan.