Empat Negara ASEAN Meriahkan Festival Budayaw IV dengan Lokakarya Pewarnaan Alami dan Kuliner

13 September 2023, 05:56 WIB
Pada hari kedua dan ketiga penyelenggaraan Festival Budayaw IV di Makassar, Sulawesi Selatan, empat negara ASEAN menampilkan ragam budayanya masing-masing melalui pameran dan lokakarya di Benteng Rotterdam. /Kemendikbudristek /

JURNAL SOREANG – Pada hari kedua dan ketiga penyelenggaraan Festival Budayaw IV di Makassar, Sulawesi Selatan, empat negara ASEAN menampilkan ragam budayanya masing-masing melalui pameran dan lokakarya di Benteng Rotterdam.

Festival Budayaw merupakan perayaan seni budaya untuk memperkuat hubungan masyarakat di sub-kawasan East ASEAN Growth Area (EAGA) yang merupakan bagian dari kerja sama sub-kawasan yang melibatkan empat negara ASEAN, yaitu Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan Filipina (BIMP-EAGA).

Festival Budayaw menampilkan Lokakarya Pewarnaan Alami dari keempat negara. Dalam kebudayaan di Indonesia, termasuk yang menjadi bagian dari sub-kawasan Asia Tenggara bagian timur, pemanfaatan pewarnaan alami terutama pada produk-produk wastra telah berlangsung sangat lama.

 

Keragaman hayati yang ada di kawasan tersebut, termasuk kekayaan rempahnya, telah menghasilkan berbagai sumber atau bahan pewarnaan alami yang sangat kaya, berikut pengetahuan dan teknik yang telah berkembang dan diterapkan dalam penciptaan produk-produk dimaksud.

Teknik pewarnaan alami ini juga dimiliki oleh negara ASEAN lain, misalnya Filipina, yang menampilkan tenun T’nalak dalam Lokakarya Pewarnaan Alami di Budayaw IV.

T’nalak adalah tradisi tenun dari masyarakat suku T’boli, kelompok etnik asli dari Cotabato Selatan, Pulau Mindanao, Filipina.

Kain ini unik karena ditenun secara khusus oleh perempuan yang menerima desainnya dalam mimpi, yang dipercaya merupakan anugerah dari Fu Dalu, Dewi Abaca masyarakat T'boli.

Baca Juga: Angkat Isu Perdamaian Lewat Pertunjukan Teatrikal Bongaya di Festival Budayaw IV

Praktik tersebut membuat suku ini dikenal sebagai Penenun Mimpi. Dengan menggunakan mesin tenun Abaca, Penenun Mimpi mengimplementasikan desain yang rumit dalam proses yang bisa memakan waktu dua bulan, tergantung desain yang dibuat.

Komunitas suku T’boli juga terlibat dalam pemilihan dan pengupasan tanaman Abaca untuk diproses sebagai serat, kemudian dijemur untuk pewarnaan, lalu diwarnai melalui teknik ikat.

Budayawan dari suku T’boli, Chita T. Falan, menjelaskan bahwa T'nalak menggunakan tiga warna, yaitu putih, merah, dan hitam. Warna alami Abaca adalah putih, tapi warna merahnya berasal dari akar merah-kecoklatan pohon Loko, sedangkan warna hitam didapat dari rebusan daun pohon Khalum selama tujuh hari, yang membuatnya berwarna hitam seperti tinta. Chita mengatakan bahwa setiap warna serat Abaca memiliki makna dan filosofis hidup.

 

“Warna hitam untuk tanah, bermakna kehidupan asli kita berasal dari tanah, karena itu kita harus menjaga dan melindungi kealamian tanah. Warna putih untuk kemurnian, memiliki makna bahwa manusia memiliki cinta dan kasih sayang. Warna merah untuk darah, bermakna keberanian. Bahwa meskipun dalam hidup ada banyak masalah, kita harus kuat dan berjuang untuk diri sendiri maupun komunitas adat,” tutur Chita.

Selain T’nalak dari Filipina, Lokakarya Pewarnaan Alami di Budayaw IV juga menampilkan pewarnaan alami dengan rempah-rempah dari Brunei Darussalam oleh Dayang Norhafilah binti Haji Amin.

Selain itu, dari Indonesia menghadirkan Batik Aksara Lontara dari Sulawesi Selatan, Kain Tenun Kajang dari Kabupaten Bulukumba, Sasirangan dari Kalimantan Selatan, Noken dari Papua, dan Lukis Tanah Liat dari Sulawesi Selatan.

Salah satu yang menarik dari Lokakarya Pewarnaan Alami adalah melukis dengan tanah liat. Teknik melukis ini diawali dengan menggunakan tanah liat di atas kertas.*** 

Editor: Sarnapi

Sumber: Kemendikbudristek

Tags

Terkini

Terpopuler