JURNAL SOREANG- Ketua Badan Hisab Rukyat (BHR) Kota Bandung, KH. Maftuh Khalil menyatakan, penelitian yang dilakukan Islamic Science Research Network (ISRN) dari UUniversitas Buya Hamka (Uhamka) Jakarta bukan hal baru sebab sebelumnya banyak penelitian serupa di negara-negara di Timur Tengah.
"Sudah banyak dilakukan penelitian yang sama. Cuma untuk melakukan koreksi waktu shalat harus melibatkan semua unsur baik MUI, BHR, maupun ormas-ormas Islam sehingga hasilnya diakui dan bisa dilaksanakan semua kalangan Muslimin," kata Kiai Maftuh saat dihubungi, Senin 15 Maret 2021.
Kiai Maftuh mengakui berdasarkan kajian ulama ahli astronomi sejak zaman dulu,
maka disepakati penentuan waktu shalat Subuh maupun shalat Isya ketika posisi
matahari minus 20 derajat di bawah ufuk.
"Masalahnya kalau menentukan shalat Zuhur, Asar, atau Magrib relatif mudah karena penentuan waktu shalat berdasarkan perhitungan matahari.
Sedangkan untuk shalat Isa maupun shalat Subuh kan matahari," ujarnya
Karena posisi matahari yang tidak terlihat sehingga alim ulama menyepakti perhitungannya termasuk oleh Majelis Agama Brunei Indonesi Malaysia dan Singapura (Mabims) yakni ketika posisi
matahari minus 20 derajat di bawah ufuk.
"Kesulitan penentuan waktu shalat juga diakibatkan dengan kondisi langit yang makin dipenuhi dengan polusi maupun awan sehingga tidak lah mudah menentukan waktu masuk untuk shalat Isya dan Subuh," katanya.
Baca Juga: Ada yang Salah dalam Shalat Kita Sehingga Tak Merasa Diawasi Allah dalam Keseharian
Kiai Maftuh sendiri sering melakukan pengamatan waktu shalat maupun awal bulan Hijriyah saat mengunjungi pantai, namun memang tidak mudah sebab kondisi alamnya sudah berbeda jauh dibandingkan dulu.