Pemberontakan Komunis di Kerajaan Sultan Hassanal Bolkiah, Begini Sejarah Partai Rakyat Brunei Darussalam

- 27 September 2021, 18:13 WIB
Potret dua pemimpin Brunei Darussalam, Sultan Omar Ali Saifuddien dan putranya, Sultan Hassanal Bolkiah
Potret dua pemimpin Brunei Darussalam, Sultan Omar Ali Saifuddien dan putranya, Sultan Hassanal Bolkiah /@bruneiroyalfamily

JURNAL SOREANG - Pada tahun 1956 berdirilah sebuah partai bernama Partai Rakyat Brunei (PRB) di wilayah kerajaan Brunei Darussalam.

PRB adalah partai berhaluan kiri yang tujuan didirikannya yakni untuk membawa Brunei ke dalam kemerdekaan penuh dari Inggris Raya.

H. M. Salleh adalah pendiri PRB di Kampong Kianggeh, Kota Brunei dengan 150 orang lainnya termasuk Manan bin Muhammad dan Muhammad bin Sulaiman.

Baca Juga: Usai Diberi Uang Tebusan, 10 Siswa yang Diculik di Nigeria Akhirnya Dibebaskan

Selain itu ada juga Zaini bin Haji Ahmad, Jais bin Haji Karim, Muhammad Jamaluddin, H. B. Hidup dan Jasin bin Affandy.

Seperti dikutip Jurnal Soreang dari Wikipedia, pertemuan itu diketuai oleh A. M. Azahari, dan dibantu oleh H. M. Salleh sebagai pimpinan orang-orang komunis di PRB

Sayangnya, PRB menggunakan cara yang keras dengan berusaha mendemokrasikan pemerintah dengan mengganti kepemimpinan nasional dari istana kepada rakyat.

Baca Juga: Piala Sudirman 2021, Marcus-Kevin Tak Main Lawan Kanada, Ini Susunan Pemain Indonesia

Berawal di tahun 1961, PRB menolak proposal untuk keanggotaan dalam federasi dengan Malaysia, yang diusulkan oleh Perdana Menteri Malaya, Tunku Abdul Rahman.

Padahal pemerintah Brunei diuntungkan dalam federasi lalu pada tanggal 12 Januari 1962, pemimpin PRB A. M. Azahari diangkat menjadi anggota Majelis Negara Brunei dan PRB.

Secara mengejutkan layaknya PKI di Indonesia pada masa Presiden Soekarno, pimpinan komunis di PRB memenangkan 16 kursi legislatif terpilih dari 33 kursi legislatif pada bulan agustus tahun 1962.

Baca Juga: 10 Alasan Mengapa Buah Delima Bagus untuk Kesehatan Tubuh Kita, Salah satunya Bisa Meningkatkan Daya Ingat

Pertemuan pertama Dewan Legislatif dijadwalkan pada 5 Desember 1962 dan PRB menyatakan bahwa ia akan mengajukan beberapa resolusi radikal.

PRB menolak bergabungnya Brunei ke Malaysia, mereka ingin mengembalikan Borneo Utara dan Sarawak dari Malaysia kembali ke Brunei untuk membentuk sebuah negara merdeka yang dikenal sebagai Negara Kesatuan Kalimantan Utara.

Namun ketika akhirnya Brunei Darussalam merdeka pada tahun 1963, raja Brunei saat itu yakni Sultan Omar Ali Saifuddin III menolak usulan resolusi dan menunda pembukaan Dewan Legislatif untuk 19 Desember 1962.

Baca Juga: 5 Fakta Persib vs Persikabo di Liga 1 2021-2022: H2H, Susunan Pemain

Lantaran tak terima dengan penolakan tersebut, akhirnya PRB melakukan pemberontakan bersenjata pada tanggal 8 Desember 1962 di daerah perbatasan Kalimantan Utara dan Sarawak.

Para pemberontak yang dikenal sebagai Angkatan Nasional Kalimantan Utara (ANKU) atau Tentara Nasional Kalimantan Utara (TNKU) itu menduduki beberapa kota utama.

Namun, polisi Brunei tetap setia kepada Sultan Omar Ali Saifuddin III yang merupakan ayah Sultan Hassanal Bolkiah dan pemerintahannya dibantu pasukan Inggris yang mendarat dari Singapura pada malam pada hari yang sama.

Baca Juga: Tegas! Fadli Zon Ingatkan Pelajar untuk Tidak Nyontek: Itu Adalah Suap

Pada 9 Desember 1962, pemberontakan itu gagal ketika Sultan Omar Ali Saifuddin III menyatakan PRB ilegal dan mengutuk TNKU untuk pengkhianatan meskipun insiden sporadis masih terus terjadi.

Sultan juga menyatakan secara terbuka niat Brunei untuk tidak bergabung dengan federasi Malaysia. Setelah berlangsung selama 5 bulan, pemberontakan pun berakhir dengan ditangkapnya salah satu pimpinan PRB yakni Yassin Affandi.

Sementara itu pimpinan PRB lainnya yakni A. M. Azahari berada di Manila selama pecahnya pemberontakan lalu melarikan diri ke pengasingan di Jakarta.

Baca Juga: Rizzky Billar Akui Nikah Siri, Lydia DA: Tujuan Apa Ya Mak, Nikah Siri

Kemudian pada 13 Oktober 1973, tahanan PRB yang menolak untuk meninggalkan partai memutuskan untuk melarikan diri dari penjara dan membangun kembali partai di pengasingan.

Selanjutnya di bulan Desember, Komite Ad Hoc untuk Kemerdekaan Brunei didirikan di Kuala Lumpur. PRB pun secara resmi diaktifkan kembali dengan A. M. Azahari sebagai presiden pada 7 Mei 1974.

PRB terus menggalang dukungan moral dan material internasional sepanjang tahun 1970-an dan mengakibatkan Majelis Umum PBB mengadopsi Resolusi 3424 yang menetapkan prinsip-prinsip suksesi dan legitimasi bahwa setiap pemerintah yang didirikan di Brunei harus bertemu.

Baca Juga: Upload Lowongan Editor Konten, Rizky Billar Dicandain Netizen

Status PRB saat ini diyakini masih beroperasi di pengasingan meskipun kemungkinan besar tidak aktif.

Pada tanggal 12 September 2005, mantan tahanan politik dan Sekretaris Jenderal PRB, Yassin Affandi, mendirikan Partai Pembangunan Nasional.

Partai Pembangunan Nasional Diarsipkan 2016-05-29 di Wayback Machine. merupakan partai politik ketiga yang beroperasi secara legal di Brunei sampai saat ini. ***

Editor: Handri

Sumber: Berbagai Sumber


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x