Terungkap! Alasan Beberapa Orang Belanda Masih Membenci Soekarno Hingga Kini, Sejarawan: Ternyata Salah Paham

16 Desember 2021, 09:44 WIB
Berikut beberapa kumpulan kutipan menyambut Hari Sumpah Pemuda dari Soekarno dan beberapa tokoh Indonesia lainnya. /Dok. lipi.go.id

JURNAL SOREANG - Setelah lebih dari 70 tahun kemerdekaan Indonesia, masih ada beberapa orang Belanda yang masih membenci Sukarno dengan sepenuh hati. Mengapa?

Dikutip Jurnal Soreang dari historibersama.com, sejarawan Indonesia, Bonnie Triyana membagikan pengalaman pribadinya terkait kebencian orang Belanda terhadap Soekarno berikut ini :

Dalam persiapan pameran yang diadakan di Rijksmuseum Maret lalu, saya bertemu dengan seorang pria yang memperkenalkan dirinya sebagai anak seorang veteran perang Belanda.

Hal pertama yang dia katakan kepada saya adalah pernyataan penuh kemarahan dan kekecewaan terhadap penggambaran kehadiran Belanda di Indonesia selama 1945-1949.

Baca Juga: 10 Fakta Kaisar Akihito dari Jepang, Pernah Bertemu Presiden Soekarno dan Mengundurkan Diri Setelah 200 Tahun

“Saya ingin pameran yang seimbang, yang tidak hanya menampilkan kekejaman tentara Belanda,” katanya kepada saya.

Saya terdiam mendengar pertanyaannya selama beberapa menit, lalu dia berkata, “Sukarno itu teroris! Dia mengirim anak buahnya untuk membunuh orang-orang di desa yang dituduh sebagai kolaborator Belanda.”

Sebagai orang Indonesia yang dibesarkan dengan kisah kepahlawanan Sukarno, saya terperangah dengan tuduhannya.

"Apa maksudmu dengan istilah teroris?" Kataku, untuk membalas pernyataannya. Lalu saya bertanya-tanya dalam hati, dari mana dia mendapatkan semua informasi tentang perang di Indonesia selama 1945-1949?.

Namanya Gerard van Santen, lahir di Ambon, Maluku 62 tahun lalu. Dia mulai membagikan kisahnya.

Baca Juga: Soekarno Hatta Ucapkan Terima Kasih saat Israel Mengakui Kemerdekaan Indonesia, Fakta Sejarah yang Terlupakan

“Saya membaca semua itu dari surat-surat ayah saya ketika dia menjabat sebagai sukarelawan militer untuk perang di Indonesia,” katanya.

Sekarang saya bisa mengerti dari mana dia berasal.

Pengakuannya memberi jalan pada satu hal serupa di Indonesia yang saya ingat.

Suatu hari, sekelompok mahasiswa di Rangkasbitung, Lebak, turun ke jalan pada 10 November 2017 untuk memprotes penggunaan Multatuli sebagai nama museum.

Mereka menuntut pihak museum mencabut keputusannya karena dianggap tidak sopan.

Mereka berpendapat bahwa Multatuli adalah penjajah Belanda yang tidak perlu diperingati.

Distorsi, atau perubahan perspektif, adalah kunci untuk memahami masalah ini.

Baca Juga: Sandiaga Uno Berkantor di Ruangan yang Pernah dipakai Presiden Soekarno, Simak Pengalamannya

Sumber informasi Gerard tentang Sukarno dapat ditelusuri kembali ke surat-surat ayahnya, sedangkan mahasiswa yang memprotes di Lebak tidak pernah diharuskan membaca novel Max Havelaar karya Multatuli.

Oleh karena itu, kesalahpahaman antara sosok Sukarno dan Multatuli di kedua belah pihak menjadi bias.

Sejarawan Anne-Lot Hoek membahas topik distorsi sejarah dan kaitannya dengan pemahaman masa lalu dalam sebuah artikel yang diterbitkan oleh NRC pada edisi 16 Agustus (“Gemiste Koloniale Geschiedenis, Gemiste Kans”, “Missed Colonial History, Missed Opportunity”).

Pasal tersebut menandakan pusat narasi (Belanda) telah mengabaikan munculnya gerakan kemerdekaan selama revolusi Indonesia antara 1945-1950.

Namun, Hoek menyatakan bahwa hal itu tidak terjadi selama dua hari antara kapitulasi Jepang pada tanggal 15 Agustus 1945 dan proklamasi kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945.

Baca Juga: 3 Istri Soekarno yang Lahir di Bulan Februari, 1 dari Jepang, Siapa Saja?

Gerakan kemerdekaan Indonesia sebenarnya telah berdiri beberapa dekade sebelumnya dengan Sukarno sebagai satu kesatuan. dari para pemimpinnya. Karena itu, memang mudah menuduh Sukarno sebagai boneka Jepang.

Akibatnya, distorsi ini, menurut saya, ikut berperan dalam keputusan untuk tidak menggunakan nama Sukarno sebagai nama jalan di wilayah Ijburg, Amsterdam.

Beberapa orang Belanda, terutama mereka yang berasal dari zaman yang sama dengannya, tidak akan pernah bisa menghormati Sukarno karena mereka atas kemalangan Belanda dan Indonesia selama 3,5 tahun pendudukan Jepang di Indonesia dan perang kemerdekaan sesudahnya.

Kapten Westerling bahkan memberikan hadiah kecil untuk kepala Sukarno: tidak lebih dari 5 sen!

Mungkin banyak yang lupa: Sukarno bukan Philipe Pétain, pemimpin pemerintahan kolaborator Nazi di Vichy, Prancis, bukan pula Anton Mussert, pemimpin National Socialistische Beweging (NSB) yang terbukti bersalah melalui pengadilan kejahatan perang.

Baca Juga: 10 Fakta Tentang Presiden Rusia Vladimir Putin, Ternyata Pensiunan Intelijen KGB dan Mata-Mata Uni Soviet

Sukarno tidak pernah diadili di depan pengadilan dan tidak pernah dikenakan hukuman apapun.

Kebencian terhadap Sukarno dapat dikaitkan dengan kebutuhan untuk menghadirkan sosok musuh bersama ke dalam narasi.

Semacam personifikasi musuh yang memberi jalan untuk membenarkan kekejaman pemerintah Belanda yang melancarkan dua aksi militer ke Indonesia pada era 1945-1949.

Pada masa itu, banyak pemuda Belanda, seperti ayah Gerard van Santen, yang terprovokasi untuk berperang dan diyakinkan untuk membebaskan Hindia Belanda dari fasisme Jepang.

Ketika mereka tiba, mereka tidak melawan pasukan Jepang melainkan rakyat Indonesia yang tersulut oleh semangat nasionalisme dan kebebasan melalui pidato-pidato Soekarno yang meledak-ledak.

Pemerintah Belanda menutup mata terhadap situasi dan perkembangan politik di Indonesia setelah Jepang menyerah kepada sekutu.

Kemenangan atas Jepang dalam Perang Dunia Kedua dengan cepat disimpulkan sama dengan kekalahan Nazi di Eropa.

Baca Juga: Warga Asli Jepang Mengaku Tak Diajari soal Sejarah Penjajahan di Indonesia, Ini Alasannya

Bagi para pemimpin gerakan pembebasan nasional Indonesia seperti Sukarno, Penyerahan Jepang merupakan kesempatan emas untuk mendirikan negara baru yang merdeka, bebas dari pendudukan bangsa manapun, termasuk Belanda.

Padahal Pemerintah Belanda berharap dapat memulihkan kekuasaannya seperti sebelum Jepang menduduki Hindia Belanda pada Maret 1942.

Kita semua tahu bahwa pada akhirnya, itu adalah upaya naif, sia-sia untuk menjajah Indonesia lagi.

Dimulai dari proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, hingga penyerahan kedaulatan pada 27 Desember 1949.

Pada akhirnya, Belanda meninggalkan Indonesia dengan beban sejarah dan Sukarno menjadi kambing hitam dalam hal itu.

Oleh karena itu, kegagalan pemerintah Belanda untuk menjajah kembali Hindia Belanda kembali menjadi jajahan Belanda akan selalu ada jawabannya.

Namun dalam kaitan itu muncul kesan bahwa penyangkalan Sukarno itu melambangkan bahwa sebagian orang Belanda tidak bisa beranjak dari imajinasi masa lalunya. Dan itu
sangat disayangkan.

Sedangkan di Indonesia, imajinasi tentang musuh selalu mengacu pada mereka yang berkulit putih, seperti Multatuli.

Seorang petugas kebersihan tengah menyemprotkan disinfektan pada sebuah Patung replika Eduard Douwes Dekker, di Museum Multatuli, Rangkasbitung, Kabupaten Lebak. Purnama Irawan

Hal ini disebabkan oleh bias rasisme dalam sejarah kolonialisme dan saat ini kita dapat melihat dampaknya pada situasi di mana sentimen anti asing (xenophobia) telah menjadi sarana yang sangat populer untuk memobilisasi gerakan publik massa dalam perjuangan politik baik di tingkat regional maupun nasional di Indonesia.

Sentimen Belanda terhadap Sukarno juga dapat dilacak dari lirik yang sering dinyanyikan oleh anak-anak di Belanda saat itu:

“Wat doen we meet Soekarno als hij komt… Wat doen we meet Soekarno als hij komt… we made er mobil van kachelhoutjes! En wat doen kita ketemu Soekarno als het kan, en
wat doen kita ketemu Soekarno als het kan, we hakken hem in mootjes, we hakken hem in mootjes, we hakken hem in mootjes in de pan…”

“Apa yang kita lakukan dengan Soekarno ketika dia datang … Apa yang kita lakukan dengan Soekarno ketika dia datang … kita membuat kayu bakar darinya! Dan apa yang kita lakukan dengan Sukarno jika kita bisa, dan apa yang kita lakukan dengan Sukarno jika kita bisa, kita potong-potong, kita potong-potong, kita potong-potong di wajan…”

Sebaliknya, Sukarno tidak pernah memendam niat buruk terhadap orang-orang Belanda samasekali.

Kumpulan Quotes Keren dari Bung Karno untuk Hari Sumpah Pemuda 2021 yang Dapat Dibagikan Ke Sosial Media/ instagram @bungkarno_

Setidaknya sikap itu terlihat dari sebuah surat tertanggal 31 Desember 1948, yang ditulisnya kepada Mayor Geelkerken, seorang tentara Belanda yang menjaganya selama 12 hari selama dia diasingkan di Berastagi, Tanah Karo, Sumatera Utara pada masa Militer Belanda Kedua. Agresi.

“Rekan Anda dari Medan bertanya kepada saya: “Apakah Anda membenci Belanda?” “Tidak,” kata Sukarno tulus.

“Saya tidak membenci Belanda. Yang saya benci adalah hubungan antara kolonialisme dan imperialisme. Jadi mengapa saya harus membenci Belanda ketika 95% orang Belanda juga menjadi korban penjajahan, seperti halnya rakyat Indonesia yang saat ini sedang berjuang untuk kemerdekaan.”

Saat ini, 70 tahun kemudian, tidak relevan lagi jika orang Belanda terus menyalahkan Sukarno dan waktu telah memanggil untuk menghentikan semua kebencian terhadapnya. ***

Editor: Azmy Yanuar Muttaqien

Sumber: historibersama.com

Tags

Terkini

Terpopuler