Raja-raja Nusantara Ini melakukan kekejaman, mulai dari minta disembah oleh kaum brahmana Hingga Pembantaian

11 Desember 2021, 18:52 WIB
Raja-raja Nusantara Ini melakukan kekejaman, mulai dari minta disembah oleh kaum brahmana Hingga Pembantaian /Yoga mulyana /tangkap layar Instagram @indigosch

JURNAL SOREANG - Sejarah kerajaan di Nusantara tidak hanya berisi catatan soal kebesaran dan jatuh bangunnya raja-raja mereka.

Tidak semua raja-raja tersebut mampu berlaku adil dan bijaksana. Kekuasaan absolut menjadi ajang mempertunjukkan kelaliman.

Dikutip Jurnal Soreang dari berbagai sumber, berikut ini raja-raja dan kekejamannya yang pernah tercatat dalam sejarah Nusantara.

Baca Juga: Biadab! Guru Paling Kejam Sedunia Perlakuannya Pada Muridnya yang Tidak Manusiawi

1. Raja Kediri Kertajaya alias Dandang Gendis memerintah 1194-1222 menyatakan diri sebagai dewa dan memerintahkan rakyat dan para pemuka agama menyembahnya.

Kelakuannya tak seperti leluhurnya, Airlangga, pendiri kerajaan Kahuripan, yang terkenal karena toleransi beragama antara Budha dan Hindu.

Tak terima kelaliman Kertajaya, banyak kaum brahmana melarikan diri. Para brahmana yang berpengaruh lari ke timur untuk beraliansi dengan Ken Arok, perebut tahta dari Jenggala, Perang besar terjadi pada 1222, pasukan Kertajaya kalah.

Ken Arok lalu mendirikan Kerajaan Singasari sembari meneruskan tradisi toleransi beragama Kediri.

Baca Juga: Rajanya Poligami! Pria Paling Perkasia di Dunia, Istrinya Puluhan Sampe Gak Hafal Anak Cucunya

2. Kertanegara Mengiris Telinga Duta Mongol

Tahun 1289, datanglah rombongan utusan Kubilai Khan dari Tiongkok ke tanah Jawa untuk menemui raja Singasari, Kertanegara (memerintah 1268-1292).

Utusan itu meminta upeti dari Jawa sebagai bukti tunduk. Salah satu dari mereka, Meng Khi, menghadap raja.

Sebagai jawabannya kepada Kubilai Khan, Kertanegara memotong telinga dan hidung Meng Khi dan mengusir rombongan itu pulang.

Tak terima, pada 1292 Kubilai Khan mengirim ekspedisi ke Jawa dengan seribu kapal dan 20.000 prajurit untuk menghukum Singasari. Namun Kertanegara keburu dibunuh oleh bawahannya dari Kediri, Jayakatwang.

Baca Juga: Memilukan, Inilah Skandal Perselingkuhan Alice Keppel Nenek Buyut Camilla Parker Bowles, dan Raja Edward VIII

3. La Pateddungi Memperkosa Rakyatnya

Kerajaan Wajo adalah kerajaan orang-orang Bugis yang berdiri pada pertengahan abad ke-15 di Sulawesi Selatan.

Tiga kelompok besar di Wajo, Battempola, Talo’tenreng, dan Tua’ mengadakan pertemuan untuk memilih raja mereka, yang kemudian diberi gelar Batara Wajo.

Batara Wajo I (La Tenribali) dan Batara Wajo II (La Mataesso) memerintah kerajaan dengan baik, tetapi tidak dengan Batara Wajo III, La Pateddungi (1466-1469). La Pateddungi terkenal suka melakukan perbuatan biadab.

Dia senang berkeliling kerajaan dan mengambil istri dan anak perempuan rakyatnya untuk diperkosa.

Baca Juga: Bukan Raja! Salah-satu Guru Paling Hiper di Dunia, Perkosa Puluhan Murid, Ini Iming-imingnya

La Pateddungi to Samallangik, dilukiskan sebagai raja yang kejam, gemar memperkosa istri dan anak gadis rakyatnya, tidak mau mendengar nasihat, dan oleh karena itu dia dipecat, diusir keluar Wajo lalu kemudian dibunuh.

4. Iskandar Muda dan Hukuman Kerasnya

Augustin de Beaulieu, pelaut Prancis yang sempat menetap di Aceh pada masa Iskandar Muda memerintah 1607-1636, mengungkapkan kekejaman Sultan Iskandar Muda.

Sang penguasa ini memang amat kejam karena saya berani bilang bahwa sejak saya berada di sana tak sehari pun lewat tanpa dia membunuh seseorang dan terkadang beberapa orang, dan dia tidak memberitahu siapapun mengenai rencananya dan juga tidak minta saran orang lain.

Baca Juga: Simak, Sejarah Suriname Menjadi Negara Yang Memiliki Banyak Keturunan Orang Jawa, Indonesia

Sultan Iskandar Muda menerapkan hukuman yang keras kepada para penjahat di Aceh untuk menegakkan wibawa dan kuasa raja yang di masa-masa sebelumnya kerap dikendalikan oleh kaum uleebalang (bangsawan).

Mulai dari pemotongan anggota tubuh seperti telinga, bibir, hidung, kaki dan tangan; diinjak gajah sampai mati; menjepit dengan dua batang kayu yang dibelah; menumbuk kepala orang, dan lain-lain.

Beberapa dokumen dari sumber-sumber asing seperti yang tercantum di Kerajaan Aceh: Zaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636) karya Denys Lombard bahkan menyebutkan Iskandar Muda pernah membunuh bayi dengan cara menghantamnya ke dinding karena bayi itu tak berhenti menangis. Dan bagaimana dia senang mandi darah para terhukum mati untuk melindungi diri dari penyakit.

Meski begitu, watak kejamnya ini diimbangi dengan sistem pemerintahannya yang efektif. Aceh menjadi kekuatan dominan di Sumatera dan warisan kekuatan militer besar yang dihimpunnya menjadi penantang utama laju dominasi Portugis di Semenanjung Malaya selama abad ke-17. (Baca: Hukuman Kejam dari Sultan)

Baca Juga: WOW! Kecantikan Selir Sineenat Wongvajirapakdi, Ternyata Mengalahkan 3 Mantan Istri Raja Thailand

6. Sultan Agung Memenggal Prajuritnya

Raja Mataram, Sultan Agung memerintah 1613-1645 memutuskan untuk menyerang Batavia pada 1628 sebagai bagian dari rencana politik ekspansionisnya di Jawa.

Pasukan Jawa berkali-kali menyerang benteng dan berulang kali juga mereka gagal. Selama 30 hari ribuan prajurit Jawa juga mencoba membendung sungai Ciliwung untuk membuat pasukan Belanda kehausan, usaha ini juga gagal.

Dalam sebuah pertempuran besar di dekat benteng, pasukan Belanda berhasil mengalahkan pasukan Mataram.

Pasukan Mataram akhirnya dipukul mundur, namun hanya setelah Sultan Agung mengirimkan pasukan algojonya untuk memenggal kepala kedua panglima pemimpin penyerbuan, Tumenggung Bahureksa dan Pangeran Mandurareja, beserta prajuritnya karena telah gagal merebut Batavia.

Baca Juga: Wow! Tampannya Barron Trump, Putra Bungsu Donald Trump, Ini Dia Profil dan Biodatanya

Serangan kedua terjadi pada 1629, kali ini dipimpin Dipati Ukur. Sekali lagi, pasukan Mataram dipukul mundur.

Belajar dari pengalaman kegagalan panglima sebelumnya, Dipati Ukur akhirnya memutuskan untuk memberontak karena tahu hukuman penggal dari sang sultan tengah menantinya. (Baca: Jakarta Kota Tinja)

7. Amangkurat I Membunuh Ulama

Tahta Mataram kembali mengalirkan darah pada masa Amangkurat I 1646-1676. Dia memindahkan pusat pemerintahan Mataram ke Plered dari Karta.

Dia kerap terlibat perselisihan tahta, dimulai dengan saudaranya sendiri, Pangeran Alit, yang akhirnya dia bunuh untuk memuluskan jalan menaiki tahta Mataram.

Baca Juga: Demi Menjadi Permasiuri Raja Thailand, Selir Sineenat Wongpajirapakdi Rela Lakukan Ini

Namun tindakannya yang paling kejam adalah ketika dia membantai kaum ulama karena dianggap berkonspirasi dengan mendiang saudaranya untuk merebut tahta.

Dia membuat daftar para ulama beserta keluarga mereka untuk dikumpulkan, lalu dibantai di alun-alun Plered.

Pembantaian ini terjadi tahun 1647. Dan dalam waktu setengah jam, tidak kurang dari lima sampai enam ribu orang dibantai.

Van Goens (utusan VOC untuk Mataram) yang waktu itu berada di Plered, melihat dengan mata sendiri mayat-mayat yang bergeletakan di jalanan.

Masa pemerintahan Amangkurat I memang penuh huru-hara. Pada 1677, Plered diduduki oleh pasukan Trunojoyo dari Madura yang memberontak, yang akhirnya memberikan celah masuk bagi VOC ke dalam politik istana Mataram. Berkat VOC, pemberontakan berhasil ditumpas namun kedaulatan Mataram kian lama jadi kian terkikis.***

Editor: Rustandi

Sumber: Berbagai Sumber

Tags

Terkini

Terpopuler