JURNAL SOREANG - Tahu Brunei Darussalam? meskipun negaranya kecil, tetapi bisa dibilang penduduknya sangat makmur.
Tidak ada yang namanya motor revo atau supra disana. Sebab, 98 persen warga di Brunei diketahui memiliki mobil pribadi.
Bahkan Sultan Hassanal Bolkiah, raja Brunei Darussalam dinobatkan sebagai raja terkaya di dunia. Kekayaannya mengalahkan Raja Salman.
Baca Juga: PUBG Mobile, Rilis Royal Pass Month 4 Dengan Tema Temporal Warior Bisa di Dapatkan
Kekayaan Brunei Darussalam ternyata hanya mengandalkan minyak dan gas saja.
Penjualan minyak bumi di Brunei, menyumbang 92 persen dari total pendapatan nasional.
Selain itu, Brunei Darussalam juga memiliki ladang minyak lepas pantai yang terletak di Kuala Belait, Jerudong, dan Ampar.
Dari ladang minyak tersebut, produksi minyak Brunei mencapai kurang lebih 200 ribu barel per hari.
Sumber kekayaan minyak dan gas di Brunei, membuatnya menduduki peringkat ke-8 sebagai negara terkaya di dunia, satu strip di bawah Amerika Serikat.
Emas Freeport di Indonesia
Baca Juga: Kurang Rangsangan Seksual? Ayo Lakukan Jurus Baring Pasrah
Indonesia diketahui memiliki emas yang notabene harganya jauh lebih tinggi dibanding minyak mentah.
Berandai-andai Freeport sepenuhnya di tangan Indonesia, tentu kita bisa hidup sejahtera.
Soalnya kalau dibagi, masing-masing orang bisa kebagian 4-5 kilogram emas.
Baca Juga: Janji Gelandang Persib Akan Menari Jaipongan Setiap Sukses Merobek Gawang Lawan
Nilai tersebut setara dengan Rp3 miliar. Jika demikian, sepertinya tak ada yang namanya pengemis dan pengamen.
Tetapi sayangnya, Indonesia sudah terikat kontrak yang mana Freeport tidak bisa dimiliki oleh tanah air kita sebesar 100 persen.
Menurut Mahfud MD, Indonesia tidak bisa memiliki Freeport seutuhnya karena kontrak yang ditandatangani pada 7 April 1967 silam.
Baca Juga: Keunikan Budaya Korea Selatan, Ada Jajanan yang Berjualan Dini Hari
Pada Jumat 7 April 1967, belum genap sebulan Soeharto menjadi Presiden Indonesia yang kedua, Freeport Sulphur of Delaware menandatangani kontrak kerja dengan pemerintah Indonesia untuk penambangan tembaga di Papua Barat.
Ketika itu, Freeport Indonesia menjadi perusahaan asing pertama yang masuk ke Papua di saat perekonomian Indonesia tidak stabil bahkan cenderung buruk.
Kondisi perekonomian nasional sangat kacau. Salah satunya disebabkan oleh inflasi yang mencapai 600%-700% persen. Otomatis, pembangunan infrastruktur terhenti saat itu.***