Terjalnya Perjalanan Menuju Kampung Legok Pego

- 27 September 2020, 14:47 WIB
Warga mengamati rumah singgah yang dibangun Pemkab Bandung di Kp. Legok Pego, tapi belum termanfaatkan dengan baik
Warga mengamati rumah singgah yang dibangun Pemkab Bandung di Kp. Legok Pego, tapi belum termanfaatkan dengan baik /Sarnapi/
 
 
 
 
JURNALSOREANG- Jangan coba-coba mendatangi Kp. Legok Pego, Desa Drawati, Kecamatan Paseh, di musim hujan seperti saat ini. Legok Pego ibarat negeri di atas awan sehingga  perlu perjuangan keras dan nyali besar untuk mencapainya.
 
Kampung ini memang hanya dihuni 148 kepala keluarga yang letaknya  jauh dari mana-mana. Seperti terisolir dari dunia luar. Malah Legok Pego lebih dekat ke Kabupaten Garut karena berbatasan dengan Desa Dano, Kecamatan Leles, daripada ke Kecamatan Paseh.
 
Untuk mencapai Kp. Legok Pego dimulai dari Kota Majalaya lalu menuju ke arah Jln. Cijapati. Dari jalan ini sudah terlihat beberapa kampung di atas perbukitan yang salah satunya Legok Pego.
 
"Perjalanan berat memang dari pertigaan Jln. Cijapati lalu masuk ke jalan Kampung Legok Pego. Jalannya sebagian sudah dibeton sekitar 500 meter pada tahun lalu," kata Kepala SDN Legok Pego, Engkos, saat dihubungi, Minggu, 27 September 2020.
 
 
Namun, sekitar 4 km lagi merupakan jalan terjal naik turun dengan kondisi jalan yang hanya bebatuan. "Kalau musim hujan jalan menjadi licin dan susah dilalui," ujarnya.
 
 
Rabu (5/9/2018), pria yang akrab dipanggil Abaalau dulu jalan ke Kp. Legok Pego hanya setapak, tapi tahun 2008 ada TNI masuk desa sehingga jalan diperlebar dan listrik juga masuk kampung. Tapi jalan akses ke kampung yang turun naik dengan curam ini masih rusak parah," katanya.
 
 
Kemiskinan masih menerpa kampung yang didominasi petani penggarap. "Dari jumlah rumah sekitar 100 buah hanya ada enam rumah yang dibangun permanen dan sisanya rumah bilik," katanya.
 
Kondisi itu tak lepas dari status pekerjaan warga sebagai  petani penggarap dengan kepemilikan tanah dari pemilik tanah asal Pangalengan, Paseh, Kota Bandung, maupun Kabupaten Garut. "Warga menyewa lahan antara Rp 500.000 sampai Rp 1 juta untuk 100 tumbak (sekitar 1.400 meter persegi). Tapi sewa lahan hanya ditanami sekali dalam setahun saat musim hujan sebab di sini susah air," katanya.
 
 
Kondisi yang susah air juga terasa di rumah-rumah warga ketika musim kemarau sehingga warga harus mengambil air dengan sepeda 
motor di Masjid Jami Albarokah sekitar 5 km. "Karena jalan akses amat berat dilalui sehingga mengambil air juga hanya dua dirijen sekali jalan. Abah hanya mengambil air dua kali dalam sehari," katanya.***
 

Editor: Sarnapi


Tags

Artikel Pilihan

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x